Senin, 20 September 2010

Belajar dari Isteri-Isteri Rasulullah saw. bab [4]

Maimunah binti Al Harits
Maimunah adalah seorang wanita yang memiliki sikap jaddiyyah (serius, bersungguh-sungguh), ia selalu serius dan bersungguh-sungguh dalam menginginkan sesuatu atau mengerjakan suatu aktivitas. Ia sangat tidak menyukai sikap tulul ‘amal (panjang angan-angan). Sikapnya itu, ia buktikan saat menyatakan keinginannya untuk berislam secara sempurna, Maimunah menginginkan semua orang tahu bahwa ia telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya sejak kedatangan Kaum Muslim yang berumrah ke Makkah. Ia pun bersunguh-sungguh ketika menginginkan keislamannya makin paripurna di bawah naungan madrasah nubuwah, Maimunah menyatakan keinginannya menjadi isteri Rasulullah saw.
Dari sikap jaddiyyah Maimunah itu, semua keinginannya bisa terpenuhi, Allah Swt. memudahkan jalannya. Ia dipersunting dan menjadi isteri kesebelas Rasulullah saw. yang diakui oleh Aisyah sebagai ummul mukminin paling bertakwa karena kesungguhannya dalam berIslam.
Maimunah adalah seorang wanita yang rajin menjalin shilaturrahmi (ikatan persaudaraan). Dalam hal ini, Maimunah memahami betul bagaimana caranya untuk menjadi hamba-Nya yang bertakwa dan jaddiyah (serius) memenuhi keinginannya menjadi hamba-Nya yang disebut Rasulullah saw. sebagai ahlul jannah (ahli surga).
Maimunah juga dikenal sebagai seorang organisatoris, ia memiliki keterampilan sekaligus keahlian dalam memimpin dan mengatur suatu perkumpulan. Ia telah membentuk satu perkumpulan wanita yang bergerak dalam bidang medis, dan bertugas untuk memberi bantuan kesehatan kepada para pejuang yang cedera dalam peperangan. Saat terjadinya Perang Tabuk pada bulan Rajab tahun 9 Hijriah, ketika Pasukan Kaum Muslim berhadapan dengan Pasukan Romawi. Maimunah berada di garda terdepan bersama para mujahiddin, ia sigap menolong para pejuang yang terluka, dan merawat mereka dengan cekatan. Bahkan, Maimunah memimpin dan mengorganisir Kaum Muslimah berperan aktif merawat para pejuang yang terluka.
Ketika Aisyah binti Abu Bakar r.a. ditanya tentang pribadi Maimunah binti Al Harits, maka ia menjawab bahwa sesungguhnya Maimunah adalah seorang wanita yang paling bertakwa di antara isteri-isteri Rasulullah saw., dan orang yang paling suka menyambung shilaturahmi (hubungan persaudaraan).

Mariyah binti Syam'un Al Qibthiyah
Mariyah adalah seorang wanita yang memiliki sifat hanif (lurus) sehingga ia mudah menerima kebenaran ajaran Islam. Ketika dalam perjalanan dari Iskandariyah menuju Madinah, Mariyah dan Sirin (sepupunya) menyaksikan bagaimana akhlakul karimah (pribadi mulia) Hathib bin Abu Balta’ah r.a. yang menjadi duta dakwah Rasul kepada Raja Al Muqauqis. Ia sungguh tertarik dengan perlakuan Hathib yang begitu menghormati dan memuliakannya. Sehingga dari perlakuan Hathib yang baik itu, Mariyah berpikir lebih tentang pemimpin Hathib di Madinah, dan ajaran hidup yang diajarkannya kepada Hathib dan para pengikutnya yang lain. Tentunya, pemimpin Hathib dan ajaran hidup yang diajarkannya itu benar-benar luar biasa. Dari interaksi Mariyah dengan Hathib sepanjang perjalanan menuju Madinah itulah, Mariyah bersama Sirin mengikrarkan dua kalimah syahadat di hadapan Hathib bin Abu Balta’ah r.a.
Mariyah adalah seorang wanita yang memiliki sifat lathif (lembut), hatinya sangat lembut, sehingga ia tidak banyak menuntut sesuatu kepada siapa pun, termasuk ketika Mariyah tinggal di istana Raja Al Muqauqis. Ia berlaku lembut, santun, dan tidak banyak merepotkan tuannya, sehingga Al Muqauqis juga menghormati dan menyayanginya. Demikian pula ketika Mariyah berada dalam naungan Rasulullah saw., ia tidak banyak menuntut. Ia malah selalu ingin membahagiakan Rasulullah saw. dengan apa pun yang bisa ia berikan. Bahkan, ia sangat bahagia melihat Rasulullah saw. begitu senang dengan kelahiran Ibrahim dari rahimnya, melebihi kebahagiaannya sendiri. Baginya, kebahagiaan Rasulullah saw. adalah kebahagiaan terbesarnya.
Mariyah adalah seorang wanita yang jamilah (cantik). Tetapi kecantikan Mariyah tidak hanya sebatas lahiriah, ia juga memiliki kecantikan batiniah. Artinya, Mariyah memiliki kecantikan luar-dalam. Di luar, ia memang seorang yang cantik dan manis hingga Rasulullah saw. pun langsung menyukainya. Sedangkan di dalamnya, Mariyah memiliki pribadi yang cantik juga. Mariyah adalah seorang wanita yang jujur sebagaimana kesaksian Abdullah bin Abdurrahman, hingga Rasulullah saw. pun langsung mengaguminya.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan tentang kedudukan Mariyah, isteri keduabelasnya itu, dan kaumnya, “Perlakukanlah orang-orang Qibthi dengan baik, karena mereka memiliki tanggungan dan hubungan kekerabatan.” Malik menguraikan sabda Rasulullah saw. tadi, dengan penjelasan, “Hubungan kekerabatan dan keluarga dengan mereka adalah bahwa Ismail bin Ibrahim berasal dari kaum mereka, dan ibu Ibrahim, putra Nabi Muhammad saw., berasal dari kaum mereka.”

Raihanah binti Zaid
Raihanah memiliki wajah dan kepribadian menarik, hingga Rasulullah saw. pun, menyukainya. Raihanah adalah seorang yang qana’ah (selalu merasa cukup dengan apapun yang ada), dia tidak banyak meminta ataupun menuntut kepada Rasulullah saw. Keinginan Raihanah hanyalah ingin berbakti sepenuhnya kepada Rasul, dalam dirinya telah tertanam sikap untuk selalu naafi’un lighairihi (bermanfaat bagi orang lain), khususnya orang terdekat dalam dirinya, yaitu Rasulullah saw.
Raihanah juga dikisahkan selalu menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Ketika dia masih berstatus isteri dari Al Hakam dari Bani Quraizhah, Raihanah selalu menghormati dan membanggakan suaminya. Dia pun merasa tidak ada lelaki yang mampu menggantikan kedudukan suaminya. Artinya, Raihanah tidak hendak berpaling kepada lelaki lain selain suaminya. Demikian pula, ketika Raihanah diambil oleh Rasulullah saw. sebagai hak miliknya saat penaklukkan Bani Quraizhah oleh Pasukan Islam, dia pun mengikuti apa yang diinginkan Rasulullah saw. atas dirinya. Saat Rasulullah saw. menawarinya untuk memeluk Islam, membebaskan, dan memperisterinya. Raihanah menjawabnya dengan pasti, dia menghindari perkara ataupun perkataan yang samar (ba’iidun ’anisy syubuhat). Raihanah bersedia untuk memeluk Islam, dibebaskan oleh Rasulullah saw. dan dinikahinya. Selama hidup bersama Rasulullah saw. pun, isteri ketigabelasnya ini tetap bersikap gaddhul bashar wahifdzul hurumat (selalu menundukan pandangan dan memelihara kehormatan). Raihanah bersedia untuk diperlakukan sama seperti isteri-isteri Rasulullah saw. lainnya, yaitu memenuhi kewajiban memasang hijab atas dirinya.
Dalam salah satu yang diriwayatkan Shaleh bin Ja’far mengabarkan dari Muhammad bin Kaab, “Raihanah termasuk yang Allah bebaskan. Dia adalah wanita cantik dan menawan. Ketika suaminya terbunuh, dia berada dalam tawanan. Dia menjadi bagian Rasulullah pada hari penaklukkan Bani Quraizhah.” Dalam hadits lain yang diriwayatkan Muhammad bin Ka’ab juga, dikatakan, “Rasulullah saw. memberi Raihanah pilihan antara Islam dengan agamanya, dan dia memilih Islam. Maka Rasul membebaskannya dan menikahinya, lalu memasangkan tabir untuknya.”

NB: Hasil dari rangkuman buku "Belahan Jiwa Muhammad saw." karya Nurul 'Aina yang insya Allah akan diterbitkan oleh Penerbit Syaamil

Belajar dari Isteri-Isteri Rasulullah saw.bab [3]

Juwairiyah binti Al Harits
Juwairiyah adalah seorang wanita yang fathanah (cerdas). Ia cepat memahami kondisi kaumnya dan keadaan dirinya, setelah kaumnya, Bani Al Musthaliq yang menentang kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw. berhasil dikalahkan oleh Pasukan Islam dalam Perang Muraisi’. Juwairiyah yang merupakan anak dari Al Harits bin Abu Dhirar adalah puteri seorang pemimpin Bani Al Musthaliq. Ia yang dilahirkan dari keluarga terhormat tahu betul bagaimana caranya untuk membebaskan dirinya, sekaligus membebaskan kaumnya dari perbudakan. Dengan kecerdasan yang ia miliki, Juwairiyah langsung menemui pemimpin Kaum Muslim, Rasulullah saw., dan menyampaikan maksud kedatangannya. Rasulullah saw. pun bersedia untuk mengabulkan permintaan Juwairiyah untuk membebaskan dirinya dari Tsabit bin Qais. Bahkan, Rasulullah saw. bersedia untuk mengembalikan kehormatan Juwairiyah dengan menikahinya. Melalui pernikahan inilah, seluruh tawanan Bani Al Musthaliq dibebaskan, dan mereka pun masuk Islam. Bahkan, Al Harits bin Abu Dhirar, ayah Juwairiyah yang datang menemui Rasulullah saw. untuk menebus putrinya pun masuk Islam, setelah menyaksikan bukti bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Juwairiyah adalah sosok wanita yang mampu menjaga izzah (kemuliaan)nya sebagai seorang wanita terhormat. Ia adalah seorang wanita terpandang di kaumnya yang memiliki kecerdasan akal dan kecantikan fisik. Oleh karenanya, Juwairiyah merasa tidak pantas men
jadi seorang tawanan, apalagi sampai direndahkan menjadi seorang budak. Ia pun meyakinkan diri tidak pantas dimiliki oleh Tsabit bin Qais yang hanya prajurit biasa. Kalaupun ada manusia yang diberi kesempatan untuk memiliki dirinya, manusia itu bukanlah Tsabit bin Qais, tetapi siapa yang menjadi pemimpin Tsabit dan pemimpin kaumnya (Kaum Muslim), yaitu Rasulullah saw. Kemuliaan sebagai wanita terhormat yang diperlihatkan Juwairiyah saat itu membuat Rasul tidak hanya bersedia membebaskannya, tetapi menawarkan dirinya untuk menikahi Juwairiyah, dan mengembalikan ke-hormatannya di tengah Bani Al Musthaliq, sekaligus menguatkan kemuliaannya di hati Kaum Muslim sebagai ummul mukminin (ibunya orang-orang beriman).
Juwairiyah juga seorang wanita yang rajin beribadah dan suka belajar. Keimanan Juwairiyah kepada Allah dan Rasul-Nya pun tidak diragukan lagi. Terbukti, ia lebih memilih tinggal bersama Rasulullah saw. dibanding menerima ajakan ayahnya kembali kepada kaumnya. Setelah Juwairiyah memeluk Islam dan menjadi isteri Rasulullah saw., ia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk beribadah kepada Allah Swt., berpuasa dan mengerjakan kebajikan. Bahkan, Rasulullah saw. pun memberi nama kepadanya “Juwairiyah” karena begitu banyak amal kebajikannya bagi keislaman kaumnya, yaitu Bani Al Musthaliq. Juwairiyah pun tidak malu untuk mengakui ketidak tahuannya tentang ajaran Islam, dan berusaha untuk terus belajar memahami Islam, langsung dari “guru utamanya” yaitu suaminya sendiri, Rasulullah saw.
Dalam salah satu riwayat, Aisyah binti Abu Bakar r.a. pernah berkata tentang keutamaan dan keistimewaan isteri kedelapan Rasulullah saw. ini, “Saya tidak tahu wanita mana yang paling memberikan berkah untuk kaumnya selain dari Juwairiyah binti Al Harits.”

Shafiyyah binti Huyay
Shafiyyah adalah seorang wanita yang memiliki sifat shiddiq (jujur) dalam perkataan dan perbuatannya. Rasulullah saw. membenarkan apa yang telah dikatakan Shafiyyah tentang mimpinya dan luka memar di wajahnya. Rasulullah saw. pun telah membenarkan pengakuan Shafiyyah yang berangan-angan dan menginginkan dirinya dinikahi oleh Rasulullah saw. Bahkan, Rasulullah saw. pun telah bersaksi, membenarkan kejujuran Shafiyyah ketika isteri-isteri Nabi berkumpul menunggui beliau yang sakit menjelang wafatnya.
Shafiyyah adalah seorang wanita yang pemaaf. Ia selalu memaafkan perlakuan isteri-
isteri Rasulullah saw. yang cemburu kepadanya (karena ia berasal dari keturunan Yahudi yang memiliki kulit putih dan cantik, bukan dari keturunan Arab). Bahkan, ia berusaha mengambil hati mereka dengan membagikan perhiasan miliknya sebagai hadiah untuk para madunya itu. Shafiyyah hanya menangis jika ada perkataan madunya yang menyinggung perasaannya. Ia baru berani membalas setelah Rasulullah saw. meyakinkannya bahwa ia memiliki keutamaan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh para ummul mukminin lainnya. Shafiyyah juga dikenal sangat bijaksana ketika memaafkan seseorang, bahkan saat ia mampu untuk membalasnya. Secara bijak, ia memaafkan, bahkan membebaskan pelayan wanitanya yang telah memfitnahnya di hadapan Khalifah Umar bin Khaththab r.a.
Shafiyyah juga dikenal sebagai isteri kesembilan Rasulullah saw. yang memiliki pemahaman mendalam dan pengamatan yang sangat teliti. Ia pernah mengingatkan kepada para Muslimah yang berzikir, membaca Al Quran, dan shalat di tempatnya, untuk khusyuk dalam beribadah, dan takut dari (azab)-Nya. Shafiyyah sungguh mengherankan orang-orang yang berzikir mengingat Allah, membaca ayat-ayat-Nya, dan bersujud di hadapan-Nya. Tetapi, tidak sedikit pun bergetar dalam hatinya ketika nama Allah dibacakan?
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan tentang keutamaan dan keistimewaan Shafiyyah dibanding dengan isteri-isteri Rasul lainnya, “Sesungguhnya engkau adalah puteri seorang Nabi (keturunan Nabi Harun a.s), pamanmu seorang Nabi (keturunan Nabi Musa a.s.), dan engkau berada di bawah naungan seorang Nabi (Muhammad saw.), Maka, dengan apa lagi engkau akan lebih berbesar hati.” (H.R. Tirmidzi)

Ramlah binti Abu Sufyan
Ramlah atau yang dikenal dengan Ummu Habibah adalah seorang wanita yang memiliki sifat shabirin (sabar) dan tabah dalam menghadapi ujian Allah Swt. Ujian demi ujian yang datang kepadanya, justeru dihadapinya dengan tabah. Baginya, ujian akan semakin meneguhkan keyakinan dan keimanannya di jalan Allah Swt. Ketika keimanannya diusik oleh ayahanda dan keluarganya, yang menginginkan dirinya kembali pada kekafiran, ia tetap teguh mempertahankan keimanannya. Ia tidak menyesali diri berada dalam barisan Kaum Muslim yang dimusuhi Musyrikin Quraisy. Ia tetap sabar menjalaninya dengan penuh keimanan. Demikian pula ketika Ummu Habibah harus berhijrah ke Habasyah, meninggalkan keluarganya jauh dari tanah kelahiran dan kaumnya, ia tetap sabar menjalaninya. Bahkan, ketika suaminya murtad dari ajaran Islam, ia berusaha mengajaknya kembali. Ia pun harus bersabar, ketika suaminya itu tetap pada pendiriannya.
Ummu Habibah adalah seorang wanita yang selalu bertawakal kepada Allah Swt. dalam aktivitas hidupnya. Ia meyakini bahwa setiap Muslim harus bertawakal kepada Allah Swt., dalam arti selalu menjadikan-Nya sebagai tempat bersandar dalam mencari maslahiyah (kemanfaatan) dan menolak dharariyah (kemadaratan). Ketika suaminya, Ubaidillah bin Jahsy murtad, Ummu Habibah tetap bersabar dan teguh dalam keimanan. Ia bertawakal kepada-Nya, dengan menyerahkan segala urusannya kepada Allah Swt. Termasuk, ketika ia harus berjuang sendirian menghidupi dan membesarkan puterinya, Habibah. Ia tetap bertakwa kepada Allah Swt. dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Ummu Habibah juga dikenal sebagai isteri kesepuluh Rasulullah saw. yang ‘asidda’u alal kuffar (keras terhadap orang-orang kafir) dan ‘adillatin alal mu’min (lembut terhadap sesama Mukmin). Kita bisa menyaksikan bagaimana sikap keras (tegas) yang diperlihatkan Ummu Habibah saat Abu Sufyan, pemimpin orang-orang Musyrik Makkah mengunjungi tempat tinggalnya. Bahkan, ia tidak ridha, tikar yang biasa diduduki Rasulullah saw. diduduki oleh orang Musyrik seperti ayahnya. Kemudian, saat Ummu Habibah menjelang wafatnya, ia masih menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama Mukmin dengan mendatangi para ummul mukminin untuk saling memaafkan dan mendoakan di antara mereka.
Sekalipun Ummu Habibah r.a. bisa bersikap keras dan tegas terhadap orang kafir yang jelas-jelas memusuhi Islam dan Kaum Muslim, tetapi pada dasarnya ia dikenal sebagai seorang wanita yang suka memuliakan tamu, tanpa melihat status sosial tamunya itu. Ia pun tanpa sungkan suka memberi hadiah untuk berbagi kebahagiaan dengan tamunya itu. Hal ini bisa kita lihat dari apa yang pernah dilakukan oleh Ummu Habibah saat ia tinggal di negeri hijrah, Habasyah. Di sana, ia sering berinteraksi dengan kaum wanita Habasyah, khususnya dengan Abrahah, hamba sahaya wanita yang dimiliki Raja Najasy. Ketika Abrahah berkunjung ke tempat kediaman Ummu Habibah, dan meminta izin untuk masuk ke dalam rumahnya, Ummu Habibah pun segera mempersilakannya masuk, dan memperlakukannya dengan baik, sekalipun Abrahah hanyalah seorang jariyah (hamba sahaya wanita). Bahkan, saat Abrahah memberitahu kabar gembira untuk Ummu Habibah kalau Rasulullah saw. ingin meminang Ummu Habibah, ia pun segera melepaskan dua gelang perak di tangannya dan dua gelang perak di kakinya, beserta cincin-cincin perak di jemari tangannya untuk ia hadiahkan kepada Abrahah.
Ketika berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah saw. terdengar oleh ayahandanya, Abu Sufyan berkata, “Dia adalah hewan jantan yang tidak terpotong hidungnya.” Maksudnya bahwa Rasulullah saw. adalah pasangan yang mulia tidak tercela dan tiada berbanding. Dari pernyataan Abu Sufyan ini tersirat pengakuan bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang sangat pantas untuk menjadi suami puterinya, Ummu Habibah, karena puterinya itu juga adalah sosok yang istimewa dalam berpegang teguh pada keimanan dan pilihan hidupnya.

bersambung....

NB: Hasil dari rangkuman buku "Belahan Jiwa Muhammad saw." karya Nurul 'Aina yang insya Allah akan diterbitkan oleh Penerbit Syaamil.

Belajar dari Isteri-Isteri Rasulullah saw. bab [2]

Hafshah binti Umar r.a.
Hafshah memiliki karakter keras, kuat pendirian, dan sikap yang tegas. Ia mewarisi karakter ayahnya, Umar bin Khaththab r.a. Sesungguhnya, karakter seperti ini tidaklah negatif, tetapi bergantung pada apa yang mendasari karakter tersebut dan karakter itu dipakainya untuk apa dan siapa? Ia tidak segan untuk mendebat Rasulullah saw. sekiranya dalam pandangan Hafshah, ada pernyataan beliau yang tidak sesuai dengan apa yang dipahaminya. Hafshah memang seorang ahli menulis yang faqih dan kritis. Mungkin karena itulah, ia selalu mengungkapkan pendapatnya langsung di hadapan Rasulullah saw.
Hafshah adalah seorang isteri Rasulullah saw. yang suka bersaing dengan Aisyah dalam menempati posisi di hati beliau. Tetapi, harus diingat bahwa persaingan ini adalah persaingan yang sehat. Mereka bersaing layaknya ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) untuk meraih kecintaan dan keridhaan suaminya. Hafshah memang merasa bahwa ia mampu untuk bersaing dengan Aisyah karena ia adalah seorang wanita muda, berparas cantik, bertaqwa, dan wanita yang disegani. Ayahnya pun adalah sosok yang sangat disegani Kaum Muslim.
Hafshah binti Umar juga dikenal cukup kritis dan suka memberi nasihat. Pernah suatu hari, Aisyah mengadukan kecemburuannya tentang pernikahan Rasulullah saw. dengan Ummu Salamah kepada Hafshah. Hafshah pun mencemburui pernikahan Rasul itu, tetapi ia masih bisa memendamnya di dalam hati. Saat menanggapi kecemburuan Aisyah itu, Hafshah bertanya lebih lanjut, sesungguhnya apa yang dicemburui oleh Aisyah? Ternyata, Aisyah mencumburui kecantikan Ummu Salamah, sehingga ia khawatir Ummu Salamah akan menjadi saingannya menduduki tempat istimewa di hati Rasulullah saw. Mendengar kekhawatiran madunya itu, Hafshah hanya tersenyum, dan secara bijak ia menasihati Aisyah, bahwa kekhawatirannya itu tidak beralasan karena Rasulullah saw. menikahi Ummu Salamah yang sudah memasuki usia lanjut, sehingga kecantikannya itu akan segera memudar. Aisyah pun membenarkan nasihat Hafshah itu hingga ia merasa tenang dan tidak perlu mencemburui Ummu Salamah.
Hafshah adalah seseorang yang sangat amanah dalam menjaga mushaf Al Qur'an yang dititipkan kepadanya. Ia dikenal hafizh (hafal) Qur'an ketika Rasulullah saw. masih ada. Ia pun rajin membaca dan mengamalkannya, terutama amalan shaum dan shalat. Sehingga tidak mengherankan, Hafshah-lah, di antara isteri-isteri Rasul yang diberikan amanah dan tanggung jawab untuk menyimpan mushaf Al Qur'an hingga akhir hayatnya.
Isteri keempat Rasulullah saw. ini adalah wanita yang disebut Jibril a.s. sebagai Shawwamah wa Qawwamah (Wanita yang rajin shaum dan shalat) dan Hafshah juga disebut Jibril sebagai salah satu isteri Rasulullah saw. di surga.

Zainab binti Khuzaimah
Zainab adalah orang yang penyayang. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Zainab adalah seorang wanita yang penyayang. Terlebih lagi kepada kalangan mustadh’afin atau kaum dhuafa (kaum lemah dan papa). Ia adalah orang yang penyantun dan rajin bersedekah. Ia merupakan Ummul Mukminin yang diberikan gelar kemuliaan sebagai Ummul Masakin atau “Ibunda Orang-orang Miskin” karena ia dikenal sebagai isteri Rasulullah saw. yang paling sayang kepada orang-orang miskin, dan bersikap sangat baik kepada mereka. Zainab binti Khuzaimah r.a. suka memberi makan dan bersedekah kepada mereka.
Zainab adalah seorang wanita yang penyabar. Mau tahu buktinya? Sebagai seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya pada Perang Uhud, Zainab juga merasakan kehilangan dan kesedihan yang mendalam. Tetapi rasa kehilangan dan kesedihannya itu tidak membuat ia meratap, menyesali nasib hidupnya, ataupun menyumpahi suratan takdir yang memisahkan dirinya dengan suami tercinta. Zainab tetap bersabar menerima apapun keputusan Allah atas diri dan suaminya. Dan kesabaran itu pada akhirnya membawa Zainab menjadi isteri kelima Rasulullah saw., menjadi seorang ummul mukminin yang meninggal saat Rasulullah saw. masih hidup dan dishalatkan oleh beliau.
Zainab selain dikenal sebagai wanita yang welas asih, ia juga dikenal sebagai isteri Rasulullah saw. yang senang meringankan beban saudara-saudaranya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Atha’ bin Yasir yang mengisahkan, bahwa Zainab mempunyai seorang budak hitam dari Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak dari Habasyah itu tidak diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah memperlakukan layaknya seorang kerabat dekat.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah r.a. dengan sabdanya, “Ia benar-benar menjadi ibunda bagi orang-orang miskin, karena selalu memberikan makan dan bersedekah kepada mereka.” (Al Ishabah)

Hindun binti Abu Umayyah
Hindun atau lebih dikenal dengan sebutan Ummu Salamah adalah seorang wanita mukhlisin (orang yang ikhlas). Ia tercatat sebagai wanita Mukminah yang bersedia melaksanakan perintah hijrah dari Allah dan Rasul-Nya kepada Kaum Muslim. Dengan penuh keikhlasan ia menempuh medan berat dua kali perjalanan hijrah, baik dari Makkah ke Habasyah, ataupun dari Makkah ke Yatsrib (Madinah).
Sikap wara’ (berhati-hati) menjadi salah satu dari keistimewaan Ummu Salamah juga. Ia tidak sembarangan berbuat sesuatu ataupun serampangan menentukan pilihan. Ia selalu berpikir mendalam terlebih dahulu sebelum menjatuhkan keputusan, mana yang akan ia lakukan, dan mana yang akan ia pilih? Mana yang akan didahulukan, dan mana yang akan ditangguhkan pengerjaannya? Demikian pula, dalam menentukan siapa kiranya yang akan menjadi pendamping hidupnya sepeninggal Abu Salamah yang telah diakui memiliki kesalehan dan kedudukan istimewa di tengah Kaum Muslim. Ummu Salamah kerap menolak pinangan dari para sahabat Rasul yang datang dengan maksud untuk menikahinya. Bahkan, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dan Umar bin Khaththab r.a. sekalipun, dua orang sahabat mulia dan terkemuka yang datang melamarnya pun, Ummu Salamah tidak berkenan untuk menerima pinangan mereka. Termasuk ketika Rasulullah saw. datang melamarnya, Ummu Salamah tidak lantas menerima pinangan manusia paling mulia dari seluruh makhluk yang ada di bumi ini. Ia masih coba untuk menghindar pinangan istimewa itu dengan menyatakan “keberatan-keberatannya” yang jadi tabi’ah (karakter) seorang wanita yang menjanda. Ummu Salamah berkata, “Aku adalah wanita yang sudah tua, aku pun seorang janda yang memiliki banyak anak yatim, dan aku pun seorang wanita pencemburu.”
Ummu Salamah r.a. adalah orang yang sangat percaya akan janji Allah Swt. Ia adalah seorang Muslimah yang sungguh percaya akan kekuatan dahsyatnya doa yang dipanjatkan kepada Allah Swt. Setelah suami pertamanya wafat, Ummu Salamah selalu berdoa yang pernah dicontohkan suaminya, Abu Salamah kepadanya. Ia berdoa, “Ya Allah, gantilah aku dengan yang lebih baik darinya.” Allah Swt. mendengar doanya dan mengabulkannya. Allah mengganti Abu Salamah dengan lelaki terbaik untuk Ummu Salamah, yaitu Rasulullah saw. yang berkenan untuk menikahi Ummu Salamah sebagai isterinya yang keenam.
Ummu Salamah r.a. adalah seorang wanita yang bijak sekaligus tegas dalam menyampaikan saran dan pendapat. Hal ini karena ia selalu berpikir mendalam tentang berbagai persoalan. Ummu Salamah mampu untuk memetakan masalah yang sedang dihadapi, dan secara bijak mengambil pilihan cerdas untuk mengatasi masalah tersebut. Terbukti, ketika Ummu Salamah menyarankan suaminya, Rasulullah saw. untuk memberikan keteladanan kepada para sahabatnya dengan menjalankan apa-apa yang telah diperintahkan Nabi Muhammad saw. kepada mereka. Padahal, saat itu para sahabat sedang berpaling dari Rasulullah saw. karena tidak sependapat dengan beliau dalam perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. menjalankan saran bijak dari Ummu Salamah dengan berdiam diri dari para sahabatnya, dan beliau pun langsung memberikan contoh kepada mereka dengan menjadi orang pertama yang menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Para sahabat pun menyadari kesalahannya, dan mereka berlomba menjalankan perintah Rasulullah saw. yang sebelumnya mereka abaikan. Saran bijak Ummu Salamah yang langsung dipraktikkan Rasulullah saw. telah menyelamatkan para sahabat dari murka Allah.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan bahwa Ummu Salamah adalah ahlul bait-nya (anggota keluarga dan keturunannya). Selain itu, Rasulullah saw. pun memuliakannya dengan biasa mengunjunginya pertama kali sehabis beliau menunaikan Shalat Ashar, sebelum mengunjungi isteri-isterinya yang lain.

Zainab binti Jahsy
Zainab adalah seorang wanita pemurah dan dermawan. Rasulullah saw. pun memuliakannya dengan mengatakannya sebagai isteri yang “panjang tangannya”. Ia pun dikenal sebagai penolong anak-anak yatim, dan tempat berlindung para janda miskin. Zainab pun dikenal rajin bekerja, mengumpulkan upahnya sebagai harta yang halal, lalu membelanjakannya di jalan Allah Swt. untuk meringankan beban hidup anak-anak yatim, janda-janda miskin, dan orang-orang yang lebih membutuhkan.
Zainab adalah orang yang sangat percaya akan kuasa Allah Swt. atas makhluk-makhluk-Nya. Ia pun seorang Muslimah yang mengakui kenabian Muhammad sebagai utusan-Nya. Sebagai hamba-Nya yang dhaif (lemah) dan sebagai umat Rasulullah saw. yang taat. Zainab bersedia untuk menerima Zaid bin Haritsah sebagai suaminya, padahal sebelumnya ia sama sekali tidak berkenan untuk menikah dengannya. Setelah perceraiannya dengan Zaid, ia pun dipinang oleh Rasulullah saw., tetapi, Zainab tidak langsung mengiyakannya, ia hanya menjawab, “Aku tidak akan melakukan sesuatu sebelum meminta petunjuk kepada Allah”. Lalu, Zainab pun melaksanakan shalat istikharah. Baru, setelah ia mendengar kabar turunnya Q.S. Al-Ahzab, 37, hatinya semakin mantap menerima pinangan Rasulullah saw. Bahkan, ketika Rasul menemuinya secara mendadak, dan mengatakan kepada Zainab, bahwa Allah Swt. telah menikahkan mereka dari atas langit. Zainab hanya menanyakan siapa yang menjadi saksi atas pernikahannya itu? Ia pun menerima sepenuhnya, setelah Rasul meyakinkannya bahwa saksi pernikahan mereka adalah Ruhul ‘Amin (Malaikat Jibril ).
Zainab adalah isteri ketujuh Rasulullah saw. yang membanggakan pernikahannya dengan beliau karena mereka dinikahkan langsung oleh Allah Swt. dari atas langit, dengan saksi Malaikat Jibril. Oleh karenanya, ia sangat menjaga ikatan pernikahannya itu dengan berusaha menjadi isteri terbaik bagi suaminya. Zainab selalu berusaha menyenangkan hati Rasulullah saw. dengan melayani segala kebutuhannya dengan baik. Ia pun berusaha tidak menyinggung hati isteri-isteri Rasulullah saw. lainnya, terutama isteri kesayangannya, yaitu Aisyah binti Abu Bakar r.a.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan kepada isteri-isterinya, bahwa isteri yang paling cepat akan menyusul beliau menemui Rabb-nya adalah isteri yang paling panjang tangannya. Maka, sejak Rasulullah saw. wafat, para isterinya suka membanding-bandingkan panjangnya tangan di antara mereka. Tetapi, justru hadits itu baru terbukti setelah wafatnya Zainab. Mereka baru memahami bahwa “panjang tangan” dalam hadits Rasulullah saw. itu bermakna kiasan, yaitu “yang paling banyak sedekahnya”. Dan, di antara isteri-isteri Rasulullah saw. yang paling rajin shadaqah adalah Zainab binti Jahsy. Hal ini pun diakui oleh Aisyah binti Abu Bakar r.a. yang berkata, “Zainab adalah seorang wanita yang rajin bekerja, ia sering menyamak, mengumpulkan upahnya, lalu menyedekahkannya di jalan Allah Swt.”

bersambung....

NB: Hasil dari rangkuman buku "Belahan Jiwa Muhammad saw." karya Nurul 'Aina yang insya Allah akan diterbitkan oleh Penerbit Syaamil.

Belajar dari Isteri-Isteri Rasulullah saw. bab [1]

Khadijah binti Khuwailid
Khadijah adalah seorang wanita yang begitu percaya diri. Sikap PD-nya ini bisa terlihat dari keyakinannya untuk memberikan kepercayaan kepada Rasulullah saw. sebagai juru niaganya di wilayah Syam. Keyakinannya itu berawal dari kejeliannya melihat suatu perkara dan ketelitiannya memilih orang yang tepat untuk menjalankan amanah perniagaannya, hingga ia tak sungkan membayar lebih dari biasanya. Sikap PD-nya juga terlihat, saat ia menawarkan dirinya kepada Rasulullah saw. untuk dilamar dan dinikahinya meski saat itu Khadijah bukanlah seorang gadis remaja, melainkan seorang janda yang sudah berusia 40 tahun. Khadijah meyakini sepenuhnya, bahwa sebagai seorang wanita yang digelari Ath Thahirah (wanita yang suci), ia sungguh layak untuk mendampingi seorang laki-laki yang bergelar Al Amin (yang terpercaya).
Khadijah adalah seorang saudagar kaya yang dermawan. Ia membelanjakan seluruh hartanya di jalan Allah untuk mendukung sepenuhnya perjuangan dakwah Rasulullah saw. Bahkan, ia pun menghadiahi suaminya itu dengan beberapa orang hamba sahaya, salah satunya adalah Zaid bin Haritsah r.a. yang kemudian diangkat anak.
Khadijah adalah seorang mustaqimin (orang yang istiqamah di jalan kebenaran). Sejak mengenal pribadi mulia Rasulullah saw. yang amanah, jujur, dan tidak pernah berkhianat, Khadijah selalu mempercayai apa pun yang dikatakan dan dilakukan suaminya itu. Termasuk ketika Rasulullah saw. mengajaknya untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ia rela meninggalkan semua kesenangan dan harta dunia demi mengikuti suami tercinta di jalan Islam. Khadijah ridha tinggal di lembah-lembah sempit saat masa pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib oleh Musyrikin Quraisy.
Khadijah adalah seorang isteri yang menjadi shahibah (sahabat) tercinta bagi suaminya. Ia bukan sekadar partner dalam rumah tangga Rasulullah saw., tetapi selalu menjadi orang yang pertama kali mendengar keluhannya sekaligus orang pertama yang menghibur hatinya. Lihatlah bagaimana ia dengan sigap menenangkan dan menyelimuti Rasulullah saw. saat datangnya wahyu pertama.
“Demi Allah, Allah Swt. tidak memberikan seorang pengganti yang lebih baik daripada Khadijah, ia telah beriman kepadaku pada saat orang-orang mengingkariku, membenarkan ajaran yang aku emban disaat orang-orang mendustakanku, membantuku dengan menginfakkan segenap hartanya disaat semua orang tidak mau, dan Allah telah mengaruniaku beberapa orang anak dari rahimnya yang tidak diberikan oleh isteri-isteri lainnya,” ujar Rasulullah saw. tentang isteri pertamanya itu.
“Sebaik-baik wanita di langit dan di bumi ialah Maryam puteri Imran, dan sebaik-baik wanita di langit dan di bumi ialah Khadijah.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan At Tirmidzi)

Saudah binti Zam'ah
Saudah adalah seorang wanita yang qana’ah (menerima apa adanya). Ketika ia menjanda setelah ditinggal wafat suami pertamanya, Sakran bin Amr, Saudah berusaha keras mengasuh, menjaga, dan mendidik keenam orang anak-anaknya. Secara telaten dan cekatan, ia membesarkan keenam orang anaknya untuk hidup sesuai dengan aturan Islam sebagaimana keyakinan dan keimanannya sebagai seorang Muslimah. Lihat bagaimana ia merasa ragu menerima lamaran Rasulullah saw. karena khawatir anak-anaknya yang banyak itu mengganggu waktu dan aktivitas Rasulullah saw.
Saudah adalah wanita pertama pilihan Rasulullah saw. setelah ditinggal oleh Khadijah. Ia adalah seorang Muslimah yang sudah “berpengalaman” sebagai isteri dan ibu dalam membina sebuah keluarga. Apalagi, saat itu Rasulullah saw. telah dikaruniai empat orang anak perempuan (yang masih hidup) dari Khadijah, yaitu Zainab, Ruqqayah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Rasulullah saw. sungguh percaya atas kepemimpinan Saudah sebagai ibu bagi anak-anak perempuannya itu. Terbukti, melalui kepemimpinan Saudah sebagai ibu, anak-anak Rasulullah dibesarkan dengan hasil yang membanggakan umatnya. Meski lugu, Saudah pun bisa menyenangkan Rasulullah saw. hingga gigi-gigi putihnya kelihatan kendati tubuhnya berwarna gelap dan gemuk. Rasulullah pernah tersenyum saat melihat dirinya berjalan melenggang berayun ke kiri dan ke kanan karena tubuh gemuknya digelayuti anak-anaknya yang masih kecil, atau karena kerajinannya dalam bekerja. Ya, ia juga termasuk tipe isteri yang sangat rajin mengurusi rumah tangganya.
Saudah adalah wanita yang penuh dengan keikhlasan. Ia memberikan “jatah” waktu gilirannya dari Rasulullah saw. untuk isteri yang paling dicintai suaminya itu, Aisyah binti Abu Bakar r.a. demi memperoleh keridhaan suaminya sekaligus keridhaan Allah Swt.
Saudah sangat memahami sabda Rasulullah saw. bahwa keridhaan Allah Swt. terletak pada keridhaan suaminya. Ia pun sangat memahami sabda Rasulullah saw. lainnya yang menyatakan bahwa keridhaan seorang suami akan mengantar seorang isteri masuk syurga dari arah pintu manapun yang ia inginkan. Saudah adalah seorang isteri yang meyakini anugerah Allah Swt. bahwa para isteri Rasulullah saw. di dunia adalah isteri-isterinya juga di syurga. Aisyah sendiri pun senantiasa mengingatnya dan selalu terkesan dengan kebaikan Saudah, atas seluruh keikhlasannya itu.
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya untuk Saudah binti Zam'ah, sesungguhnya wanita terbaik adalah wanita yang menunggang unta yang lemah, wanita Quraisy yang saleh yang paling kasih kepada anak-anaknya disaat mereka masih kecil, dan paling tekun merawat suaminya dengan tangannya sendiri.” (Al Hadits)

Aisyah binti Abu Bakar r.a.
Aisyah adalah isteri yang paling dicintai Rasulullah saw. Bahkan, Rasul menyatakan bahwa rasa cintanya kepada Aisyah bagaikan simpul tali yang saling mengikat dengan sangat erat.
Aisyah adalah seorang isteri yang memilik sikap quwwah (keteguhan jiwa) dalam kebenaran. Aisyah tetap dalam keyakinannya bahwa ia ada dalam kebenaran, ketika masyarakat mempertanyakan tentang kesuciannya setelah kepulangannya dari Perang Bani Musthaliq. Bahkan, berita bohong itu pun sempat menggoyahkan kepercayaan Rasulullah saw. kepadanya. Aisyah hanya bersaksi, “Demi Allah, aku tidak bertaubat kepada Allah selamanya dari apa yang Rasul katakan. Demi Allah, sesungguhnya aku tahu jika aku mengakui sesuai dengan apa yang dikatakan orang-orang, sedang Allah tahu bahwa aku bersih dari (perbuatan itu), maka sungguh aku telah mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Dan, jika aku mengingkari apa yang mereka katakan, mereka pasti tidak akan mempercayai dan tidak akan membenarkanku. Tetapi, aku akan mengatakan apa yang pernah dikatakan oleh Ya’kub a.s., 'Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongannya terhadap apa yang kalian ceritakan.' (Q.S. Yusuf, 12: 18).” Dengan kesabaran yang tinggi pada diri Aisyah, Allah Swt. membenarkan kesucian Aisyah sebagai wanita mulia.
Aisyah adalah seorang isteri yang supercerdas. Bahkan, isteri ketiga Rasulullah saw. ini pun telah hafal Al Quran sejak usia muda. Para perawi hadits, menyebutkan bahwa Aisyah adalah orang ketiga terbanyak setelah Abu Hurairah r.a. dan Anas bin Malik r.a. yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw., terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum tentang permasalahan wanita dan rumah tangga. Inilah bukti yang mampu menjungkirbalikkan argumentasi para orientalis, feminis, ataupun orang-orang yang benci Islam dan suka mendiskreditkan pernikahan Rasulullah saw. dengan Aisyah, bahwa pernikahan itu hanya dorongan syahwat belaka. Padahal, sesungguhnya pernikahan mulia itu ditujukan untuk memberikan keteladanan bagi Kaum Muslim, khususnya bagi para Muslimah, yaitu masalah tarbiyah islamiyah (pendidikan Islam) dalam keluarga dan rumah tangga. Aisyah memang satu-satunya wanita yang masih gadis ketika dinikahi Rasulullah saw. Aisyah memasuki rumah tangga Rasulullah saw. dengan jiwa yang putih bersih laksana secarik kertas baru. Kepribadian Rasulullah saw. yang mutamayiz (istimewa) sanggup membentuk hati dan rohaninya. Fakta membuktikan bahwa Aisyah menjadi sosok wanita teladan sepanjang masa dalam masalah pendidikan, ilmu, dan kecerdasan. Aisyah memilih peran sebagai “isteri pembelajar” itu sebaik-baiknya untuk menyempurnakan pendidikannya, menjadi wanita luhur dan bertakwa.
Aisyah dikenal juga sebagai isteri Rasul yang pecemburu. Tetapi, kecemburuan Aisyah ini adalah rasa cemburu yang masih dibenarkan oleh syara’ dalam arti cemburu yang syar’i. Bukankah cemburu itu menandakan bahwa seorang isteri mencintai suaminya, dan ia pun merasa tidak mau rasa cintanya dikalahkan oleh para madunya yang lain? Selama kecemburuan itu sesuai dengan proporsinya dan tidak berlebih-lebihan, maka rasa cemburu ini bisa dipahami sebagai romantika kehidupan suami-isteri, dan Islam pun membenarkan cemburu yang seperti ini. Aisyah pernah cemburu pada Khadijah kendati ia telah tiada. Aisyah pernah cemburu pada Ummu Salamah yang diketahuinya berwajah cantik kendati ia sudah berusia lanjut. Sekalipun Aisyah adalah seorang isteri pecemburu, ia tidak pernah mengungkapkan kecemburuannya kepada ummul mukminin lain yang dicemburuinya itu, tetapi ia biasanya langsung menumpahkannya kepada Rasulullah saw. atau kadang sekali-kali kepada Hafshah binti Umar r.a. yang paling dekat di antara para isteri Rasulullah saw.
“Engkau adalah isteri yang paling dicintai Rasulullah saw., dan beliau tidak akan mencintai sesuatu kecuali yang baik,” ujar Ibnu Abbas kepada Aisyah. Di waktu lain ia pun mengatakan, “Allah Swt. telah menurunkan wahyu tentang kesucianmu dari atas lapis langit yang ketujuh, maka tidak ada satu masjid pun yang disebutkan nama Allah di dalamnya, kecuali kesucianmu akan dibacakan di dalamnya sepanjang malam dan siang.” Iman Az Zuhri berkata, “Seandainya ilmu Aisyah dikumpulkan dengan ilmu dari seluruh Ummahatul Mukminin, dan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu Aisyah lebih utama.”

bersambung....

NB: Hasil dari rangkuman buku "Belahan Jiwa Muhammad saw." karya Nurul 'Aina yang insya Allah akan diterbitkan oleh Penerbit Syaamil.

MAKNA SURAT AL FATIHAH

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamu'alaikum...wr wb....

Pembaca blog yang budiman, surat Al Fatihah dikenal sebagai intisari Al Qur’an , karena itu pada saat melaksanakan sholat, surat Al Fatihah harus dibacakan dalam setiap rakaat…

Dari pengalaman ini, saya berkesimpulan bahwa kalau mau hidup selamat, terbebas dari berbagai penyakit dan masalah, setiap orang yang mengaku beragama Islam, mutlak harus memahami dengan baik dan benar makna dari Surat Al Fatihah…

Karena itu saya tayangkan cuplikan Tadabbur Al Fatihah ini secara baik dan benar…


INILAH ARTI/MAKNA DARI SURAT AL FATIHAH:

Ayat 1: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”.

Rasakan betapa besar kasih sayang Allah kepada kita semua, bayangkan semua nikmat yang telah kita terima dariNya. Nikmat udara yang kita hirup, nikmat penglihatan, nikmat pendengaran, nikmat sehat. Apakah kita sudah berterima kasih padaNya??. Rasakan kasih sayang dan sifatnya yang maha pengasih serta pemurah. Rasakan getaran dihati anda, hingga timbul dorongan untuk menangis. Silahkan menangis jika dorongan itu memang kuat. Jangan tahan tangisan anda.


Ayat 2: “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”

Rasakan betapa mulianya Allah, betapa Agungnya Dia , hanya Dialah yang berhak dipuji. Dialah Tuhan penguasa Alam semesta yang maha mulia dan Maha terpuji. Rasakan betapa hina dan tidak berartinya kita dihadapan Dia. Lenyapkan semua kesombongan diri dihadapaNya. Rasakan getaran yang dahsyat didada anda…


Ayat 3: “Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”

Rasakan seperti pada ayat pertama

Ayat 4: “Yang menguasai hari pembalasan”

Bayangkan seolah olah anda berada dihapan Allah di padang Mahsyar kelak. Dia lah penguasa tunggal dihari itu. Bagaimana keadaan anda dihari itu? Rasakan dan hayati ayat tadabbur yang anda dengar. Biarkan airmata anda mengalir . Menangislah dihadapan Allah pada hari ini , disaat pintu taubat masih terbuka. Jangan sampai anda menangis kelak dihari berbangkit ketika pintu taubat telah tertutup

Ayat 5: “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”

Inilah pengakuan anda bahwa hanya Dia yang anda sembah, dan hanya padaNya anda mohon pertolongan. Buatlah pengakuan dengan tulus dan iklas.

Ayat 6: “Tunjukilah kami jalan yang lurus”

Mohonlah padanya agar ditunjuki jalan yang lurus. Jalan yang penuh dengan rahmat dan berkahNya. Dengarkan dan hayati kalimat tadabbur yang anda dengar


Ayat 7: “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”.

Bayangkan jalan orang orang yang telah mendapat nikmat , kebahagian dan kesuksesan sebagai karunia dari sisinya. Berharaplah untuk mendapat kebahagian seperti orang2 itu.
Bayangkan pula jalan orang orang yang mendapat murka dan azabnya
Bayangkan pula jalan yang ditempuh orang yang sesat mohon agar dijauhkan dari jalan itu.
Jika anda orang yang berhati peka pasti anda akan menangis, mendengar bacaan tadabbur ini. Jika anda belum merasakan getaran apapun dihati anda. Ulangi terus tadabbur ini. Gunung saja akan hancur mendengar ayat Qur’an , hati anda tidak sebesar gunung bukan?
Mudah mudahan Allah tidak mengunci mati hati kita amin..
semoga bermanfaat...

Minggu, 19 September 2010

Sejarah Singkat Imam Bukhari

Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari

Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.

Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.

Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.

Keluarga dan Guru Imam Bukhari

Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.

Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).

Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.

Kejeniusan Imam Bukhari

Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.

Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.

Karya-karya Imam Bukhari

Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama”.

Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”

Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.

Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”

Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”

Penelitian Hadits

Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.

Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”

Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.

Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits

Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.

Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.

Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.

Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.

Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.

Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.

Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.

Terjadinya Fitnah

Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.

Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.

Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.

Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”

Wafatnya Imam Bukhari

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.

diambil dari : http://opi.110mb.com/haditsweb/sejarah/sejarah_singkat_imam_bukhari.htm

Jumat, 17 September 2010

Pernikahan menurut Islam

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamu'alaikum...wr wb....


Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta'ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fithrahnya.

Perkawinan adalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam.
Firman Allah Ta'ala.
"Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". (Ar-Ruum : 30).

A. Islam Menganjurkan Nikah

Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim).

B. Islam Tidak Menyukai Membujang

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras". Dan beliau bersabda :
"Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat". (Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban).
Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata: Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata: Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya .... Ketika hal itu didengar oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :
"Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku". (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim).
Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : "Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab".

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagiaan hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.
Jadi mari menikah menjalankan sunah rasul...^_^

Tips & Nasihat menikah menurut islam

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamu'alaikum...wr wb....

Umumnya setiap orang yang dewasa pasti ingin menikah untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah war rahmah atau keluarga yang bahagia di dunia dan akhirat. Apalagi nikah adalah satu perintah agama:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [An Nuur:32]
Barangsiapa kawin (beristeri) maka dia telah melindungi (menguasai) separo agamanya, karena itu hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi. (HR. Al Hakim dan Ath-Thahawi)
Hadis riwayat Anas ra.:
Bahwa beberapa orang sahabat Nabi saw. bertanya secara diam-diam kepada istri-istri Nabi saw. tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka ada yang mengatakan: Aku tidak akan menikah dengan wanita. Yang lain berkata: Aku tidak akan memakan daging. Dan yang lain lagi mengatakan: Aku tidak akan tidur dengan alas. Mendengar itu, Nabi saw. memuji Allah dan bersabda: Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata begini, begini! Padahal aku sendiri salat dan tidur, berpuasa dan berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak menyukai sunahku, maka ia bukan termasuk golonganku. (Shahih Muslim No.2487)
Hadis riwayat Sa`ad bin Abu Waqqash ra., ia berkata:
Rasulullah saw. melarang Usman bin Mazh`un hidup mengurung diri untuk beribadah dan menjauhi wanita (istri) dan seandainya beliau mengizinkan, niscaya kami akan mengebiri diri. (Shahih Muslim No.2488)
Abdullah Ibnu Mas’ud Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.
Nah bagaimana caranya agar kita bisa memiliki keluarga yang bahagia?
Itu semua tak lepas dari usaha, doa, dan tawakkal kita kepada Allah SWT. Allah dan RasulNya sudah memberi petunjuk di Al Qur’an dan Hadits.
Melihat dan berkenalan
Sebelum memutuskan untuk menikah, kita harus melihat dulu calon pasangan kita. Ini agar tidak seperti membeli kucing dalam karung:
Menurut riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada seseorang yang akan menikahi seorang wanita: “Apakah engkau telah melihatnya?” Ia menjawab: Belum. Beliau bersabda: “Pergi dan lihatlah dia.”
Jangan Berpacaran
Meski kita harus ta’aruf atau mengenal, tapi pacaran dalam Islam adalah hal yang terlarang.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” [Al Israa’:32]
Ada orang yang berpacaran sampai bertahun-tahun lebih. Bahkan ada pula yang sampai kumpul kebo dengan alasan agar bisa mengenal calon pasangannya. Itu adalah haram. Toh begitu menikah, banyak juga yang cerai.
Sebab bagaimana pun juga orang pacaran itu selalu menutupi kekurangannya dan hanya menampilkan yang baik-baik saja. Banyak ulama mengatakan, kalau pacaran itu tidak pernah kita mendengar suara kentut dari pasangan kita. Tapi begitu menikah, sering sekali kedengaran. Jadi pacaran itu bukanlah hal yang yang tepat untuk mengenal pasangan.
Untuk mengenal pasangan anda, carilah informasi dari orang dekatnya entah itu saudara, teman, atau tetangganya. Minta juga penilaian dari orang tua dan keluarga anda. Sebab orang yang jatuh cinta itu banyak yang “buta.” Tidak dapat melihat kekurangan orang yang dia cinta.
Dari statistik Ohio University dijelaskan bahwa 1 dari 3 wanita di AS pernah diperkosa. Kemudian dari Ensiklopedi MS Encarta juga dijelaskan 80% pelaku adalah pacar dari si korban.
Hanya 16% kasus perkosaan yang dilaporkan.
Banyak kasus perzinahan mungkin sebetulnya adalah perkosaan di mana si pacar mendesak untuk diberi jatah.
Jadi pacaran itu dampak negatifnya cukup banyak.
Sulit Mencari Jodoh?
Ada juga orang yang sulit mencari jodoh. Kemungkinan orang ini terlalu pilih-pilih atau selektif. Yang penting itu sebenarnya akhlak dan agamanya. Tampang itu yang biasa-biasa saja, begitu pula yang lainnya.
Selain itu seringlah bersilaturrahim ke tempat saudara atau mengikuti pengajian. Makin luas silaturrahim anda, makin mudah pula anda mencari jodoh. Jangan lupa untuk senantiasa senyum sehingga orang tidak kabur ketika melihat anda…
Jangan Melamar Wanita yang Sedang Dilamar Orang Lain
Ada pepatah Perancis: “Cherchez la Femme” Artinya, (jika ada keributan) carilah wanitanya. Ini karena sering terjadi perkelahian untuk memperebutkan wanita. Tak jarang berakhir dengan maut. Oleh karena itu, Islam melarang seseorang untuk melamar wanita lain yang sedang dilamar pria lain.
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu melamar seseorang yang sedang dilamar saudaranya, hingga pelamar pertama meninggalkan atau mengizinkannya.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Bukhari.
Memilih Pasangan Hidup
Pertama-tama kita harus mencari pasangan hidup yang baik menurut agama. Mungkin banyak orang mengeluh karena dia sulit mendapat jodoh. Tidak ada pria/wanita yang mendekati dirinya. Nah orang itu harus introspeksi diri.
Pertama apakah penampilannya kucel dan semrawut? Jika ya, jangan heran jika banyak orang tidak menengok dirinya. Kita harus berpenampilan bersih, rapi, dengan wajah yang ceria. Jika wajah murung atau cemberut tentu orang juga enggan mendekat. Itulah sebabnya Nabi berkata “Senyum itu sedekah”
Kemudian lihat pergaulan atau jaringan teman dan keluarga anda. Apakah anda sehari-hari hanya berkurung diri di kamar saja? Tentu saja anda tidak harus melakukan dugem di diskotik yang akhirnya paling hanya dapat pecandu narkoba/alkohol sebagai suami/istri. Tapi anda bisa mengikuti pengajian di lingkungan rumah anda.
Bagaimana pun juga keluarga dan teman bisa jadi mak comblang/perantara yang ampuh untuk mencari jodoh.
Jangan pasang kriteria terlalu tinggi, misalnya harus ganteng/cantik, harus cerdas lulus S3, kaya, dan beriman. Sulit mencari orang yang sempurna. Jika pun anda bisa menemukan orang yang seperti itu, belum tentu dia mau dengan anda.
Pilihlah wanita yang beriman dan saleh untuk jadi pasangan anda:
Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita (isteri) yang sholehah. (HR. Muslim)
Wanita dinikahi karena empat faktor, yakni karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaknya pilihlah yang beragama agar berkah kedua tanganmu. (HR. Muslim)
Wanita yang baik akan senantiasa menjaga auratnya. Dia tidak akan menerima tamu pria yang bukan muhrimnya jika anda pergi bekerja.
Sebaliknya, jangan pilih wanita yang mengumbar auratnya/sexy untuk menggoda para pria. Banyak terjadi wanita seperti ini ketika suaminya pergi, maka dia selingkuh dengan pria lain. Bahkan tidak jarang akhirnya membunuh suaminya agar bisa tetap bersama pacarnya. Semoga hal ini tidak menimpa kita semua.
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin” [An Nuur:3]
Pilih wanita yang beriman. Bukan yang musyrik/beda agama:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” [Al Baqarah:221]
Sebelum anda jatuh cinta dengan seseorang, teliti dulu agamanya. Islam apa bukan? Jika Islam, perhatikan lagi, sholat apa tidak? Jika tidak sholat, sebaiknya tinggalkan karena sholat adalah pembeda antara orang yang beriman dengan orang kafir.
Seganteng atau secantik apa pun orang yang membuat anda jatuh hati, jika dia kafir niscaya akan dibakar dengan api neraka sehingga wujudnya akan jadi mengerikan. Jika anda pernah menyaksikan mayat yang hangus hitam terbakar, ingatlah itu. Seganteng apa pun orang itu misalnya seganteng Primus atau Keanu Reves, tapi jika dia kafir maka wajahnya akan mengerikan bukan hanya di neraka. Tapi juga di kubur. Ingatlah hal ini agar anda tidak tertarik dengan orang kafir yang ganteng atau cantik.
Meski mungkin sudah banyak yang tahu, ada baiknya kita baca ayat di bawah tentang siapa yang tidak boleh kita nikahi:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [An Nisaa’:23]
Amati Bagaimana Amarahnya
Setiap orang pasti pernah marah. Cuma ada yang melampiaskan kemarahannya dengan perbuatan yang menyakitkan, ada juga yang sekedar mengeluarkan kata-kata kotor, ada pula yang sekedar diam saja.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terjadi akibat pasangan tidak mampu mengontrol amarahnya. Kadang bukan sekedar melukai, tapi juga bisa membunuh pasangan atau anaknya. Oleh karena itu anda harus bisa mengetahui bagaimana sifat calon pasangan anda jika marah agar tidak menyesal nantinya. Jangan sampai, terutama kaum wanita, jadi sansak hidup yang selalu dipukul oleh suaminya.
Ada wanita yang baru tahu suaminya kasar setelah menikah. Sering memukul hingga membuat dia berdarah. Sebelum menikah, katanya calon suaminya sangat baik. Oleh karena itu tak ada salahnya jika anda sekali dua kali mencoba membuat pasangan anda marah agar hal semacam itu bisa dideteksi secara dini. Jika anda terlanjur menikahi orang seperti ini, sebaiknya segera mencari perlindungan dan bercerai. Memang setelah marah mereka sangat baik dan sangat cepat menjadi baik lagi karena seluruh kemarahannya mereka keluarkan kepada anda. Tapi pasti mereka akan mengulanginya lagi.
Sebaik-baik orang adalah yang diam jika dia marah. Jika pun berkata, dia sekedar mengungkapkan hal yang dia tidak suka tanpa menyebut anda dengan sebutan yang buruk.
Paling dekat dengan aku kedudukannya pada had kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kamu ialah yang paling baik terhadap keluarganya. (HR. Ar-Ridha)
Bila seorang dari kamu sedang marah hendaklah diam. (HR. Ahmad)
Selama menikah, Nabi belum pernah memukul istri atau pun anak-anaknya.
Pada saat anda sudah menikah, sebaiknya hanya ada 1 pihak saja yang marah. Yang lain sebaiknya mengalah. Ketika marah, jangan sekali-kali mengucapkan kata “Cerai.” Sebab itu bukanlah kata yang bisa diucapkan secara main-main atau untuk mengancam.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan main-main akan jadi, yaitu: nikah, talak dan rujuk (kembali ke istri lagi).” Riwayat Imam Empat kecuali Nasa’i. Hadits shahih menurut Hakim.
Jangan pula anda mengeluarkan kata-kata dari “Kebun Binatang” atau pun sebutan menyakitkan lainnya.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri (sesama Muslim) dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” [Al Hujuraat:11]
Jangan Mencintai Pasangan Anda Secara Berlebihan
Menurut pepatah Inggris: “Love me little, love me long”. Cintai aku sedikit, tapi abadi. Biasanya pasangan yang cintanya berlebihan, sehingga di depan umum pun tampil sangat mesra, dalam beberapa tahun saja pasti bercerai. Ini karena rasa cintanya terlalu diumbar sehingga dalam waktu singkat sudah “habis.”
Dalam Islam, kita tidak boleh berlebihan. Kita harus mengutamakan cinta kita kepada Allah dan Rasulnya. Jika pun kita mencintai sesama atau pasangan kita, itu karena Allah.
Barangsiapa memberi karena Allah, menolak karena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikah karena Allah, maka sempurnalah imannya. (HR. Abu Dawud)
Jika kita mencintai pasangan kita lebih daripada Allah, niscaya hati kita akan hancur dan putus asa jika pasangan kita meninggalkan kita baik karena cerai atau pun karena mati.
Sebaliknya jika kita mencintai Allah di atas segalanya, niscaya kita akan selalu tegar dan tabah karena kita yakin bahwa Allah itu Maha Hidup dan Abadi serta selalu bersama dengan hambanya yang Saleh.
Menikahlah Karena Cinta
Seharusnya kita menikah karena cinta. Bukan karena paksaan. Oleh karena itu, sebetulnya kisah kawin paksa antara Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih itu bertentangan dalam Islam.
Dari Zakwan ia berkata: Aku mendengar Aisyah berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw. tentang seorang gadis perawan yang dinikahkan oleh keluarganya, apakah ia harus dimintai persetujuan ataukah tidak? Beliau menjawab: Ya, harus dimintai persetujuan! Lalu Aisyah berkata: Aku katakan kepada beliau, perempuan itu merasa malu. Rasulullah saw. bersabda: Itulah tanda setujunya bila ia diam. (Shahih Muslim No.2544)
Syiarkanlah Pernikahan
Dalam Islam, pernikahan itu meski itu adalah pernikahan kedua, ketiga, atau keempat (poligami) harus disiarkan ke masyarakat luas agar nanti tidak terjadi fitnah.
Dari Amir Ibnu Abdullah Ibnu al-Zubair, dari ayahnya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sebarkanlah berita pernikahan.” Riwayat Ahmad. Hadits shahih menurut Hakim.
Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:
Bahwa Nabi saw. melihat warna bekas wangian pengantin di tubuh Abdurrahman bin Auf, lalu beliau bertanya: Apakah ini? Abdurrahman menjawab: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku baru saja menikahi seorang wanita dengan mahar seharga lima dirham emas. Rasulullah saw. lalu bersabda: Semoga Allah memberkahimu dan rayakanlah walaupun dengan seekor kambing. (Shahih Muslim No.2556)
Dari Anas Ibnu Malik ra bahwa Nabi SAW pernah melihat bekas kekuningan pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau bersabda: “Apa ini?”. Ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menikahi seorang perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas. Beliau bersabda: “Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah (resepsi) walaupun hanya dengan seekor kambing.” Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.
Sering orang melakukan pernikahan secara diam-diam atau nikah siri sehingga orang banyak tidak tahu apakah mereka berdua menikah atau tidak. Itu jelas tidak sesuai dengan sunnah Nabi. Jika yang dilakukan pernikahan siri adalah istri kedua sementara istri pertama dirayakan, maka itu adalah ketidak-adilan yang tidak bisa ditolerir.
Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda: “Barang siapa memiliki dua orang istri dan ia condong kepada salah satunya (tidak adil), ia akan datang pada hari kiamat dengan tubuh miring.” Riwayat Ahmad dan Imam Empat, dan sanadnya shahih.
Jangan Bercerai
Perceraian adalah hal yang halal tapi dibenci Allah:
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai.” Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah
Kenapa begitu?
Karena perceraian bukan hanya menyakitkan pihak yang bercerai, tapi juga anak-anaknya.
Agar tidak bercerai, maka suami harus bertanggung-jawab memberi nafkah lahir dan batin pada istrinya dan keluarganya serta memperlakukan mereka dengan baik.
Istri juga harus paham bahwa suami adalah pemimpin keluarga dan menghormatinya.
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)..” [An Nisaa’:34]
Sediakanlah makan dan minuman bagi suami dan keluarganya. Karena wanita bertanggung-jawab mengatur hal itu. Masing-masing punya tugas dan tanggung–jawab.
Jika marah, sebaiknya diam. Jangan melontarkan kata-kata yang menyakitkan. Apalagi sampai main tangan. Jika ada satu yang marah, yang lain hendaknya mengalah. Sebab kalau keduanya sama-sama marah bisa berakibat “fatal.”
Istri juga harus menghargai orang tua suami, begitu pula sebaliknya karena kedua orang tua tersebut seolah-olah sudah jadi orang tua mereka semua.
Sering perceraian terjadi karena faktor ekonomi, misalnya suami penghasilannya kurang atau bahkan diPHK. Istri hendaknya tidak diam atau justru merongrong suaminya. Sebaliknya coba bantu suaminya mencari nafkah.
Meski wanita tidak wajib mencari nafkah, toh Khadijah yang merupakan wanita yang paling utama, membantu Nabi dengan harta kekayaannya.
Saya lihat juga para istri yang langgeng menikah dengan suaminya, aktif membantu suaminya mencari uang dengan membuka katering atau berdagang di rumah sehingga mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya hingga kuliah.
Rajinlah berolahraga agar anda bisa memberi nafkah lahir dan batin. Bagaimana pun juga menurut Nabi Kesehatan adalah nikmat terbaik setelah iman. Karena itu peliharalah dengan berolahraga.
Seringlah berdoa: “Robbana hablana min azwaajina wa dzurriyatina qurrota a’yuun. Waj’alna lil muttaqiina imaama” (Ya Allah, jadikanlah istri-istri dan anak-anak kami sebagai penghibur hati. Dan jadikanlah kami sebagai pemimpin orang-orang yang takwa).

Insya allah dengn tips di atas ..semoga bermanfaat..amin…

Minggu, 29 Agustus 2010

MALAM "LAILATUL QODAR"

Assalaamu'alaikum Wr. Wb


Alhamdulilah, semoga rekan2 masih semangat dlm menunaikan ibadah syaum
Ramadhan 1429 H., tahun ini.
Memasuki 10 (sepuluh) hari terakhir di bulan Ramadhan tahun ini, ijinkan
saya berbagi sesuatu terutama menyangkut 'Lailatul Qodar'

Hukum Seputar Malam Lailatul Qadar
Malam Lailatul Qadar itu jatuh pada hari ke berapa? Di dalam Al-Qur’an
tidak diterangkan pada malam ke berapa malam Lailatul Qodar itu jatuh,
tetapi di dalam hadits diterangkan bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW
beri’tikaf pada 10 hari awal di bulan Ramadhan menginginkan malam
Lailatul Qodar, kemudian beliau beri’tikaf pada 10 hari pertengahannya
dan mengatakan (yang artinya): “Sesungguhnya malam Lailatul Qodar itu
jatuh pada 10 hari akhir di bulan Ramadhan”. Beliau melihatnya dan
beliau sujud di waktu shubuh di tempat yang berair bercampur tanah,
kemudian pada malam ke-21 di saat beliau i’tikaf, turunlah hujan maka
mengalirlah air hujan tersebut pada atap masjid karena masjid Nabi SAW
terbuat dari anjang-anjang. Beliau menjalankan sholat subuh bersama para
sahabatnya kemudian beliau sujud. Anas bin Malik berkata :
‘Aku melihat bekas air dan tanah dikeningnya, maka beliau sujud ditempat
yang berair bercampur tanah.” (HR. Bukhori no.669 dan 2016, Muslim
No.1167, dan 216 dari shohabat Abu Sa’id Al-Khudri).
Hadits di atas menunjukkan bahwa malam Lailatul-Qodar pada saat itu jatuh
pada malam yang ke-21. Sedangkan para sahabat Rosululloh melihat dalam
mimpi mereka bahwa malam Lailatul-Qodar jatuh pada malam ke 27.
(HR. Bukhori no.2015, Muslim no.1165 dari shohabat Abdulloh bin ‘Umar ).
Yang shohih dari perbedaan para ulama tentang jatuhnya malam Lailatul-Qodar
pada 10 hari terakhir adalah berpindah-pindah pada setiap tahunnya,
terkadang pada tahun ini jatuh pada malam yang ke 21, kemudian pada tahun
berikutnya jatuh pada malam yang ke 29, 25 atau 24.
Adapun hikmah berpindah-pindahnya malam Lailatul-Qodar supaya orang-orang
yang malas menjalankan ibadah, mereka bersemangat untuk menjalankan ibadah
pada 10 hari terakhir di bulan Romadlon. Hikmah yang lainnya juga yaitu
agar menambah amal shalih seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah.
(Syaikh Utsaimin)

Tanda-Tanda Lailatul Qodar
Lailatul-Qodar mempunyai beberapa alamat atau tanda, baik secara langsung
(yaitu pada malamnya) maupun setelah terjadi (yaitu pada pagi harinya).
Adapun alamat secara langsung (yaitu pada malamnya) di antaranya :
1.Sinar cahaya sangat kuat pada malam Lailatul-Qodar dibandingkan dengan
malam-malam yang lainnya. Tanda ini pada zaman sekarang hanya bisa dirasakan
oleh mereka yang tinggal ditempat yang jauh dari sinar listrik atau sejenisnya;
2.Bertambah kuatnya cahaya pada malam itu;
3.Thumaninah. Yaitu ketenangan dan kelapangan hati yang dirasakan oleh
orang-orang yang beriman lebih kuat dari malam-malam yang lainnya;
4.Angin dalam keadaan tenang pada malam Lailatul-Qodar, tidak berhembus
kencang (tidak ada badai) dan tidak ada guntur. Hal ini berdasarkan hadits
dari shohabat Jabir bin Abdillah sesungguhnya Rosululloh bersabda
(yang artinya): Sesungguhnya Aku melihat Lailatul-Qodar kemudian dilupakannya,
Lailatul-Qodar turun pada 10 akhir (bulan Ramadan) yaitu malam yang terang,
tidak dingin dan tidak panas serta tidak turun hujan?. (HR. Ibnu Khuzaimah
no.2190 dan Ibnu Hibban no.3688 dan dishohihkan oleh keduanya);
Kemudian hadits dari shohabat Ubadah bin Shomit sesungguhnya Rasulullah
bersabda (yang artinya) "Sesungguhnya alamat Lailatul-Qodar adalah malam
yang cerah dan terang seakan-akan nampak didalamnya bulan bersinar terang,
tetap dan tenang, tidak dingin dan tidak panas. Haram bagi bintang-bintang
melempar pada malam itu sampai waktu subuh. Sesungguhnya termasuk dari
tandanya adalah matahari terbit pada pagi harinya dalam keadaan tegak lurus,
tidak tersebar sinarnya seperti bulan pada malam purnama, haram bagi
syaithon keluar bersamanya (terbitnya matahari) pada hari itu?.
(HR. Ahmad 5/324, Al-Haitsamy 3/175 dia berkata : perawinya tsiqoh).
5.Terkadang Allah memperlihatkan malam Lailatul-Qodar kepada seseorang dalam
mimpinya. Sebagaimana hal ini terjadi pada diri para shahabat Rosululloh;
6.Kenikmatan beribadah dirasakan oleh seseorang pada malam Lailatul Qodar
lebih tinggi dari malam-malam yang lainnya.

Adapun alamat setelah terjadi (yaitu pada pagi harinya) di antaranya :
Matahari terbit pada pagi harinya dalam keadaan tidak tersebar sinarnya
dan tidak menyilaukan, berbeda dengan hari-hari biasanya. Hal ini berdasarkan
hadits dari shohabat Ubay bin Kaab yang mengatakan: "Sesungguhnya Rasulullah
mengkabarkan kepada kami: "Sesungguhnya matahari terbit pada hari itu dalam
keaadaan tidak tersebar sinarnya?. (HR. Muslim no.762, 2/828);

Sumber : Disarikan dari beberapa sumber
=======================================
Malam lailatul qodar, adalah malam kemuliaan yang lebih mulia dari seribu bulan,
diperuntukkan bagi hamba2NYA yang terpilih (dirahiim), yaitu orang2 yang
beriman, istiqomah, secara tertib dan tumakninah...
Semoga kita semua yang sedang menunaikan ibadah syaum tahun ini menjadi
hamba2NYA yang termasuk yang akan terpilih untuk mendapatkan nikmatnya malam
LAILATUL QODAR, Insyaa Allah, amien yaa robbal 'aalamien.
Wallaahu a'lam bishshowab...
============================
Wassalaam,
"sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain"

Selasa, 03 Agustus 2010

Hukum Meminta Maaf Sebelum Ramadhan dan dalil dalilnya


Bissmillah, Alhamdulillah, Alhamdulillahi wa ‘ala ni’matihi.


Sahabat muslim, alhamdulillah pada kesempatan kali ini, kita masih diberi banyak nikmat oleh Alloh Swt. Salah satunya adalah nikmat keluangan waktu. Dengan nikmat waktu itu, alhamdulillah kita masih bisa mengkaji lagi hal-hal yang sangat berkaitan dengan dienul Islam. Yang mana hal itu sangat penting bagi kita semua, agar ilmu kita bertambah dari hari ke hari. Dan dengan begitu, kita akan semakin mantab dalam amalan Iman dan Islam kita dalam kehidupan sehari-hari.

Sahabat Muslim Ramadhan semakin dekat, setelah habis sa’ban maka tibalah Ramadhan. Bulan ampunan dan bulan penuh berkah. Banyak pula pernak-pernik, rupa-rupa, dan macam-macam tradisi yang menyertainya. Salah satunya adalah meminta maaf sebelum memasuki bulan Ramadhan. Ya, tradisi yang sangat lekat bagi kita semua.
Lalu bagaimana kedudukan hukumnya?

Jawab saya, Wallohu ‘alam. Karena saya bukanlah seorang mufti yang berkewanangan mengeluarkan fatwa atau hukum ketetapan. Hanya saja saya Insya Alloh coba meninjau dari segi dalil-dalilnya dan history (sejarah), mengapa bisa ada taradisi itu bisa ada, mendarah daging, bahkan menjadi sebuah keharusan.


Mengapa saya sebut meminta maaf sebelum Ramadhan itu tradisi?


Karena memang itu bukan sunnah yang ada dalam ajaran Islam. Dan hal itu hanya sebuah kebiasaan di suatu daerah yang terjaga secara turun menurun (mungkin begitulah defenisi tradisi). Dan akan dibahas lebih lanjut pada pembahasan kali ini.


Baiklah mari kita mulai meninjau tradisi meminta maaf sebelum Ramadhan.


Menurut hemat saya, sesuatu itu tidak mungkin ada jika tanpa sebab. Atau kata lain ada akibat karena ada sebabtnya. Begitu pun juga dengan tradisi yang sedang kita perbincangkan ini, pasti ada sebab dan musababnya.

Lalu apa sebabnya? Di mana, kapan dan siapa yang memulainya? Ada yang tahu?

Begini sahabat muslim, begitu penasarannya saya dengan sejarah ini, maka saya pun berusaha mencari infonya. Yang pertama-tama tentunya menanyakan dalil dan keterangan kepada teman-teman saya yang menjalankan tradisi ini. Hampir di setiap kesempatan saya tanyakan, offline ataupun online. Namun, sayang saya belum juga mendapatkan jawaban yang memuaskan. Alias tidak ada dalil yang qoth’i yang beliau-beliau jelaskan terkait dengan mestinya meminta maaf sebelum memasuki Ramadhan. Dan jawaban standarnya mentok pada kata, “kan meminta maaf ga ada salahnya!”

Saya pun tidak mau mendebat lagi. Akhirnya saya pun coba bertanya Mbah yang sangat pakar dalam menjawab pertanyaan. Istilahnya sekali bertanya ribuan jawaban beliau hadirkan. Ya, siapa lagi kalau bukan Mbah Google. Hehehehe!

Saya pun mulai memasukan beberapa keyword (kata kunci) untuk menemukan jawaban yang diinginkan. Well done… Masya Alloh! (artinya apa ya?). Saya mendapatkan beberapa jawaban yang masuk nominasi untuk saya kaji dan teliti lagi. Jawaban yang saya cari, berasal dari sebuah forum yang sedang membahas masalah ini (sayang saat itu saya lupa tidak mencoppy URLnya). Jawaban yang saya cari berasal dari seorang penanya

Berikut kutipan pertanyaan seputar sebelum Ramadhan tentang bermaafan.

"Saya mau tanya bagaimana derajat hadits di bawah ini, yang biasanya dijadikan dalil untuk berma'afan sebelum Ramadhan.

Ketika Rasullullah sedang berhotbah pada suatu Sholat Jum'at (dalam bulan Sya'ban), beliau mengatakan Aamin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Aamin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Aamin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Aamin sampai tiga kali. Ketika selesai sholat jum'at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: "ketika aku sedang berhotbah, datanglah Malaikat Zibril dan berbisik, hai Rasullullah aamin-kan do'a ku ini," jawab Rasullullah.

Do'a Malaikat Zibril itu adalah sbb: "Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada).

Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami istri.

Tidak berma'afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Maka Rasullahpun mengatakan Aamin sebanyak 3 kali.

Alhamdulillah akhirnya dapat juga jawaban yang kuat untuk dijadikan dalil. Dan akhirnya saya mendapatkan juga sisi histories dari tradisi di kehidupan kita ini. Ternyata dari sinilah tradisi ini dimulai.

Oh ya, mengapa saya sebut dalilnya kuat? Karena melampirkan sebuah dalil yang berasal dari sebuah hadits. Tapi jangan cepat puas dan manut begitu saja. Nah, sekarang tugas kita adalah meninjau bagaimana kedudukan hadits tersebut dan bagaimana sarah lengkapnya.

Baiklah, yuk kita mulai meninjau hadits di atas!

Dari info yang ada dalam forum tersebut, hadits di atas bisa kita temukan dalam kitab Sifat Shaum Nabi yang disusun oleh Syekh Salim Bin Ied Al-Hilaly dan Syekh Ali Hasan Bin Abudul Hamid. Dan setelah ditinjau dan diperhatikan ternyata terdapat sesuatu yang agak membingungkan. Apa itu? Redaksi hadits yang ditulis oleh penanya di atas jauh berbeda dengan maksud maksud yang terkandung di dalam hadits tersebut.

Agar lebih jelasnya, mari kita lihat hadits lain yang semisal dengan redaksi hadits yang ditulis di atas. Hadits berikut datangnya melalui jalan Abu Hurairah :

(bahwasanya) Rasulullah SAW pernah naik mimbar kemudian berkata : Amin, Amin, Amin" Ditanyakan kepadanya : "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda. "Artinya : Sesungguhnya Jibril 'Alaihis salam datang kepadaku, dia berkata : "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin...."

Hadit di atas bisa kita temukan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah 3/ 192, Musnad Ahmad 2/246 dan 245, serta dalam kitab Imam Bayhaqi 2/204. Adapun asalnya hadits tersebut dalah kitab Shohih muslim 4/1978.

Atau jika sahabat muslim ingin melihat hadits yang senda, namun diriwatkan oleh sahabat lain. Sahabat muslim bisa melihatnya dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin.

Dan ketika cari-cari lagi hadits yang semisal ternya ada yang lebih panjang dan lebih rinci. Dalil tersebut didapatkan dari buku Birrul Walidain oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, hal. 44-45 terbitan Darul Qalam

"Artinya : Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam naik ke atas mimbar kemudian berkata, "Amin, amin, amin". Para sahabat bertanya. "Kenapa engkau berkata 'Amin, amin, amin, Ya Rasulullah?" Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Telah datang malaikat Jibril dan ia berkata : 'Hai Muhammad celaka seseorang yang jika disebut nama engkau namun dia tidak bershalawat kepadamu dan katakanlah amin!' maka kukatakan, 'Amin', kemudian Jibril berkata lagi, 'Celaka seseorang yang masuk bulan Ramadhan tetapi keluar dari bulan Ramadhan tidak diampuni dosanya oleh Allah dan katakanlah amin!', maka aku berkata : 'Amin'. Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata lagi. 'Celaka seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah seorang dari keduanya masih hidup tetapi justru tidak memasukkan dia ke surga dan katakanlah amin!' maka kukatakan, 'Amin".

Nah sahabat muslim, sekarang sudah menyaksikan langsungkan hadits versi lengkapnya. Hadits tersebut menyatakan bahwa Celaka bagi seorang yang keluar dari bulan Ramadhan, namun orang tersebut tidak Alloh ampuni dosa-dosanya. Ya, memang benarkan kalau orang yang tidak Alloh ampuni dosanya maka akan celaka dan tercebur ke neraka. Bukahkah begitu?

Intinya maksud ucapan Malaikat Jibriel, menekankan agar umat Islam bersungguh-sungguh dalam menalankan ibadah Ramadhan den memohon ampun sebanyak-banyaknya. Suapaya dosa-dosanya diampuni oleh Alloh Swt. Karena pintu ampunan pada bulan Ramadhan Alloh bukakan seluas-luasnya. Berikut dalilnya,

"Siapa puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala Allah, niscaya ia diampuni dosanya yang telah lalu. "(Hadits Muttafaq 'Alaih).

Maka celaka dan merugilah orang-orang yang keluar dari bulan Ramadhan sementara dosa-dosanya yang telah lalu masih menumpuk dan tidak diampuni. Padahal ia telah melewati masa yang sungguh mulia dan bisa menjadi sarana untuk memohon ampun.

Nah, begitulah maksud hadits yang diajukan oleh penanya tadi. Dan hadits tersebut tidak ada hubungannya dengan meminta maaf sebelum Ramadhan kepada orang-orang disekitar. Akan tetapi, maksudnya menekankan agar kita memohon ampunan kepada Alloh dengan sungguh-sungguh.

Alhamdulillah, pertanyaan yang mengawang-ngawang sejak lama, akhirnya terselesaikan juga.

Lalu pertanyaan berlanjut. Bagaimana hukumnya bagi orang-orang yang konsisten dan istiqomah dengan tradisi ini? Sementara tidak ada dalil yang memerintahakannya. Dan di sisi lain bukankah meminta maaf itu baik dan bagus?

Sekali lagi, saya tegaskan saya bukanlah seorang mufti yang berhak mengeluarkan fatwa atau menghukumi realita yang sedang kita hadapi. Namun, saya berusaha meninjau, dengan mengambil nash-nash yang ada dalam Al-Quran dan Hadits-hadits yang shohih.

Baiklah, setelah selesai kita membahas history dari tradisi meminta maaf sebelum Ramadhan (yang ternyata salah menafsirkan redaksi). Maka pembahasan kita agak sedikit bergeser ke hal intinya kata MINTA MAAF?

Sebab kata ini yang menjadi kunci apa yang kita bahas sekarang ini. Kan katanya bagus meminta maaf itu. Ya, saya sepakat memang bagus. Tapi yang kita bahas bukan bagus atau tidak bagusnya. Yang akan kita tinjau adalah bagaimana hal tersebut dalam Islam.

Setelah saya coba kembali ubek-ubek Al-Quran dan kitab-kitab hadits, saya agaknya sulit menemukan kata meminta maaf. Sebab dalil-dalil Al-Quran dan hadits yang saya temukan kebanyakan meruapakan anjuran untuk memaafkan. Contoh dalil-dali di bawah ini :

Jadilah engkau pema”af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma”ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.(QS. Al-A”raf: 199).

Dan

Dan hendaklah mereka mema”afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. An-Nuur: 22)

Lalu,

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa mema”afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.(QS. Asy-Syura: 40). Apa yang kita simpulakan dari beberapa keterangan Al-Quran di atas? Tentunya kita bisa mengambil kesimpulkan bahwa kita sebagai muslim, mestilah lebih dahulu kita memaafkan orang yang berbuat salah kepada kita walau pun orang tersebut belum meminta maaf. Itulah ciri dari akhlak mulia seorang muslim, yang selalu ikhlas dan memaafkan kesalahan orang lain.

Atau jika kita lihat hadits :

Dari Anas bin Malik ra berkata bahwa Raslullah SAW bersabda, "Janganlah kalian saling memutuskan hubungan, jangan saling membelakangi, jangan saling bermusuhan, jangan saling hasud. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya di atas tiga hari. (HR Muttafaq ''alaihi)

Ini adalah hadits shohih riwayat Imam Bukhari dan Muridnya Imam Muslim yang sudah tidak diragukan lagi keshohihannya Haram bagi kita bermusuhan atau sekedar diem-dieman atau lebih kerennya lagi perang dingin (eh, atau adu diem ya? Enggak taulah pilih saja, hhe) dengan saudara kita.

Lalu dalam sarah kitab subulus salam yang menjelaskan hadits tersebut, ketika sahabat bertanya sipakah yang lebih mulia dari kedua orang yang sedang bermushan? Jawab Rasul, Dialang yang mengucapkan salam terlebih dahulu. Artinya dialah yang lebih dahulu bisa memaafkan dan mengikhlasankan hatinya.

Bagaimana sahabat muslim, sudah cukup jelaskan anjuran yang ada dalam Islam? Yang mana kita harus saling memaafkan dan lebih mulia memaafkan segala kesalahan orang lain. Dan itu tidak terbatas atau dibatasi oleh keadaan dan waktu. Artinya kapan pun di mana pun, kalau bisa harus setiap saat. Begitulah Akhlaq ang Islam ajarkan.

Dan kalau mau meminta maaf itu syah-syah saja karena tidak ada larangannya.

Masalahnya bagaimana jika meminta maaf itu selalu saja dikhususkan dan kaitkan-kaitkan dengan ibadah yang sudah mahdhoh (sudah ada ketetapan syarat dan rukunnya).


Naah, yang seperti itu yang tidak boleh. Kenapa? Karena ada Qoidah Ushul menyatakan Bahwa tidak boleh mengkhususkan yang Umum. Maksudnya sesuatu yang sifatnya umum kebolehannya kemudian kita khususkan dan mestikan. Atau ditambah embel-embel pahala ini dan itu, atau yang lebih dahsyat dari itu. Itu yang tidak boleh.

Sebagai contoh kasus meminta maaf sebelum Ramadhan. Artinya itukan dikhususkan dan sangkut pautkan dengan Ramadhan. Seolah satu paket atau syarat saat memasuki Ramadhan. Padalah meminta maaf sifatnya umum dalam kebolehannya. Yang boleh dilakukan kapan saja.

Dan satu lagi, hal itu menambah-nambah dalam ibadah Mahdoh. Karena Shaum Ramdhan merupakan Ibadah yang mahdoh yang sudah diatur syarat dan rukunnya. Seperti syarat masuknya ramadhon adalah terbitnya hilal (tanggal satu). Sebagaimana hadits nabi :
“Shaumlah kamu, karena melihat hilal (tanggal 1), dan Berbukalah (lebaran) kamu karena melihat hilal (tanggal 1) .” HR. Muslim.

Jadi itulah sarat dan ritual sebelum memasuki Ramdhan (dimana tidak mesti semua orang si suatu negri melihat hilal, akan tetepi cukup ada salah seorang saja).


Maka bathilah jika memasukan meminta maaf sebelum ramdhan sebagai keharusan, atau kebiasan yang membuat diri kita merasa berdosa (atau kuarang afdhol) jika tidak meminta maaf.


Lalu apa kesimpulan saya, tentang meminta maaf sebelum ramdhan?


Pertama :

Saya memandang boleh-boleh saja jika meminta maafnya itu tidak disangkutpautkan dengan Ramdhan.

Kenapa saya berkesimpulan begitu? Karena tidak ada dalil yang melarang nya.

Sebagaimana qoidah Ushul,

“Al-Aslu fil Ahya-i Al-ibahah, hatta yakuuna dalilu litahrimiha,” Artinya asal dalam urusan dunia itu adalah boleh, sehingga ada dalil yang melarangnya.

Maaf memaafkan salah satu hablum minnanas (urusan sesama manusia) artinya urusan kedunian. Dan saya tidak mendapatkan dalil yang melarang untuk meminta maaf.

Kedua :

Namun jika meminta maafnya itu dikhususkan dan disangkut pautkan dengan ramadhan itulah yang tidak boleh. Seperti yang saya sebutkan dalil-dalilnya pada penjelasn di atas. Salah satunya adalah Qoidah ushul yang menyatakan “Tidak boleh mekhususkan sesuatu yang Umam menjadi khusus.” Atau menambah-namah dalam hal syarat dan rukun Ibadah.
Catatan ^_^ V :

Marilah kita selalu memaafkan orang-orang yang berbuat salah kepada kita, meski pun orang tersebut tidak meminta maaf. Sebab seorang pemaaf itu berhati mulia.


Alhamdulillah sahabat muslim semua. Begitulah apa yang bisa saya paparkan. Mohon dimaafkan jika ada yang tidak berkenan. Dan mohon diingatkan jika ada hal-hal yang tidak sejalan dengan ketetap Al-Quran dan sunnah. Karena saya masih butuh banyak belajar dan ilmu itu luas.

semoga bermanfaat amin...

Aquulu Qawliy Hadza. Wastagfirulloha Liy Walakum. Waawfu minkum. Walhamdulillah Hirabbil ‘Alamin.