Senin, 20 September 2010

Belajar dari Isteri-Isteri Rasulullah saw. bab [1]

Khadijah binti Khuwailid
Khadijah adalah seorang wanita yang begitu percaya diri. Sikap PD-nya ini bisa terlihat dari keyakinannya untuk memberikan kepercayaan kepada Rasulullah saw. sebagai juru niaganya di wilayah Syam. Keyakinannya itu berawal dari kejeliannya melihat suatu perkara dan ketelitiannya memilih orang yang tepat untuk menjalankan amanah perniagaannya, hingga ia tak sungkan membayar lebih dari biasanya. Sikap PD-nya juga terlihat, saat ia menawarkan dirinya kepada Rasulullah saw. untuk dilamar dan dinikahinya meski saat itu Khadijah bukanlah seorang gadis remaja, melainkan seorang janda yang sudah berusia 40 tahun. Khadijah meyakini sepenuhnya, bahwa sebagai seorang wanita yang digelari Ath Thahirah (wanita yang suci), ia sungguh layak untuk mendampingi seorang laki-laki yang bergelar Al Amin (yang terpercaya).
Khadijah adalah seorang saudagar kaya yang dermawan. Ia membelanjakan seluruh hartanya di jalan Allah untuk mendukung sepenuhnya perjuangan dakwah Rasulullah saw. Bahkan, ia pun menghadiahi suaminya itu dengan beberapa orang hamba sahaya, salah satunya adalah Zaid bin Haritsah r.a. yang kemudian diangkat anak.
Khadijah adalah seorang mustaqimin (orang yang istiqamah di jalan kebenaran). Sejak mengenal pribadi mulia Rasulullah saw. yang amanah, jujur, dan tidak pernah berkhianat, Khadijah selalu mempercayai apa pun yang dikatakan dan dilakukan suaminya itu. Termasuk ketika Rasulullah saw. mengajaknya untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Bahkan, ia rela meninggalkan semua kesenangan dan harta dunia demi mengikuti suami tercinta di jalan Islam. Khadijah ridha tinggal di lembah-lembah sempit saat masa pemboikotan terhadap Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib oleh Musyrikin Quraisy.
Khadijah adalah seorang isteri yang menjadi shahibah (sahabat) tercinta bagi suaminya. Ia bukan sekadar partner dalam rumah tangga Rasulullah saw., tetapi selalu menjadi orang yang pertama kali mendengar keluhannya sekaligus orang pertama yang menghibur hatinya. Lihatlah bagaimana ia dengan sigap menenangkan dan menyelimuti Rasulullah saw. saat datangnya wahyu pertama.
“Demi Allah, Allah Swt. tidak memberikan seorang pengganti yang lebih baik daripada Khadijah, ia telah beriman kepadaku pada saat orang-orang mengingkariku, membenarkan ajaran yang aku emban disaat orang-orang mendustakanku, membantuku dengan menginfakkan segenap hartanya disaat semua orang tidak mau, dan Allah telah mengaruniaku beberapa orang anak dari rahimnya yang tidak diberikan oleh isteri-isteri lainnya,” ujar Rasulullah saw. tentang isteri pertamanya itu.
“Sebaik-baik wanita di langit dan di bumi ialah Maryam puteri Imran, dan sebaik-baik wanita di langit dan di bumi ialah Khadijah.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan At Tirmidzi)

Saudah binti Zam'ah
Saudah adalah seorang wanita yang qana’ah (menerima apa adanya). Ketika ia menjanda setelah ditinggal wafat suami pertamanya, Sakran bin Amr, Saudah berusaha keras mengasuh, menjaga, dan mendidik keenam orang anak-anaknya. Secara telaten dan cekatan, ia membesarkan keenam orang anaknya untuk hidup sesuai dengan aturan Islam sebagaimana keyakinan dan keimanannya sebagai seorang Muslimah. Lihat bagaimana ia merasa ragu menerima lamaran Rasulullah saw. karena khawatir anak-anaknya yang banyak itu mengganggu waktu dan aktivitas Rasulullah saw.
Saudah adalah wanita pertama pilihan Rasulullah saw. setelah ditinggal oleh Khadijah. Ia adalah seorang Muslimah yang sudah “berpengalaman” sebagai isteri dan ibu dalam membina sebuah keluarga. Apalagi, saat itu Rasulullah saw. telah dikaruniai empat orang anak perempuan (yang masih hidup) dari Khadijah, yaitu Zainab, Ruqqayah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Rasulullah saw. sungguh percaya atas kepemimpinan Saudah sebagai ibu bagi anak-anak perempuannya itu. Terbukti, melalui kepemimpinan Saudah sebagai ibu, anak-anak Rasulullah dibesarkan dengan hasil yang membanggakan umatnya. Meski lugu, Saudah pun bisa menyenangkan Rasulullah saw. hingga gigi-gigi putihnya kelihatan kendati tubuhnya berwarna gelap dan gemuk. Rasulullah pernah tersenyum saat melihat dirinya berjalan melenggang berayun ke kiri dan ke kanan karena tubuh gemuknya digelayuti anak-anaknya yang masih kecil, atau karena kerajinannya dalam bekerja. Ya, ia juga termasuk tipe isteri yang sangat rajin mengurusi rumah tangganya.
Saudah adalah wanita yang penuh dengan keikhlasan. Ia memberikan “jatah” waktu gilirannya dari Rasulullah saw. untuk isteri yang paling dicintai suaminya itu, Aisyah binti Abu Bakar r.a. demi memperoleh keridhaan suaminya sekaligus keridhaan Allah Swt.
Saudah sangat memahami sabda Rasulullah saw. bahwa keridhaan Allah Swt. terletak pada keridhaan suaminya. Ia pun sangat memahami sabda Rasulullah saw. lainnya yang menyatakan bahwa keridhaan seorang suami akan mengantar seorang isteri masuk syurga dari arah pintu manapun yang ia inginkan. Saudah adalah seorang isteri yang meyakini anugerah Allah Swt. bahwa para isteri Rasulullah saw. di dunia adalah isteri-isterinya juga di syurga. Aisyah sendiri pun senantiasa mengingatnya dan selalu terkesan dengan kebaikan Saudah, atas seluruh keikhlasannya itu.
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya untuk Saudah binti Zam'ah, sesungguhnya wanita terbaik adalah wanita yang menunggang unta yang lemah, wanita Quraisy yang saleh yang paling kasih kepada anak-anaknya disaat mereka masih kecil, dan paling tekun merawat suaminya dengan tangannya sendiri.” (Al Hadits)

Aisyah binti Abu Bakar r.a.
Aisyah adalah isteri yang paling dicintai Rasulullah saw. Bahkan, Rasul menyatakan bahwa rasa cintanya kepada Aisyah bagaikan simpul tali yang saling mengikat dengan sangat erat.
Aisyah adalah seorang isteri yang memilik sikap quwwah (keteguhan jiwa) dalam kebenaran. Aisyah tetap dalam keyakinannya bahwa ia ada dalam kebenaran, ketika masyarakat mempertanyakan tentang kesuciannya setelah kepulangannya dari Perang Bani Musthaliq. Bahkan, berita bohong itu pun sempat menggoyahkan kepercayaan Rasulullah saw. kepadanya. Aisyah hanya bersaksi, “Demi Allah, aku tidak bertaubat kepada Allah selamanya dari apa yang Rasul katakan. Demi Allah, sesungguhnya aku tahu jika aku mengakui sesuai dengan apa yang dikatakan orang-orang, sedang Allah tahu bahwa aku bersih dari (perbuatan itu), maka sungguh aku telah mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Dan, jika aku mengingkari apa yang mereka katakan, mereka pasti tidak akan mempercayai dan tidak akan membenarkanku. Tetapi, aku akan mengatakan apa yang pernah dikatakan oleh Ya’kub a.s., 'Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongannya terhadap apa yang kalian ceritakan.' (Q.S. Yusuf, 12: 18).” Dengan kesabaran yang tinggi pada diri Aisyah, Allah Swt. membenarkan kesucian Aisyah sebagai wanita mulia.
Aisyah adalah seorang isteri yang supercerdas. Bahkan, isteri ketiga Rasulullah saw. ini pun telah hafal Al Quran sejak usia muda. Para perawi hadits, menyebutkan bahwa Aisyah adalah orang ketiga terbanyak setelah Abu Hurairah r.a. dan Anas bin Malik r.a. yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw., terutama yang berkaitan dengan hukum-hukum tentang permasalahan wanita dan rumah tangga. Inilah bukti yang mampu menjungkirbalikkan argumentasi para orientalis, feminis, ataupun orang-orang yang benci Islam dan suka mendiskreditkan pernikahan Rasulullah saw. dengan Aisyah, bahwa pernikahan itu hanya dorongan syahwat belaka. Padahal, sesungguhnya pernikahan mulia itu ditujukan untuk memberikan keteladanan bagi Kaum Muslim, khususnya bagi para Muslimah, yaitu masalah tarbiyah islamiyah (pendidikan Islam) dalam keluarga dan rumah tangga. Aisyah memang satu-satunya wanita yang masih gadis ketika dinikahi Rasulullah saw. Aisyah memasuki rumah tangga Rasulullah saw. dengan jiwa yang putih bersih laksana secarik kertas baru. Kepribadian Rasulullah saw. yang mutamayiz (istimewa) sanggup membentuk hati dan rohaninya. Fakta membuktikan bahwa Aisyah menjadi sosok wanita teladan sepanjang masa dalam masalah pendidikan, ilmu, dan kecerdasan. Aisyah memilih peran sebagai “isteri pembelajar” itu sebaik-baiknya untuk menyempurnakan pendidikannya, menjadi wanita luhur dan bertakwa.
Aisyah dikenal juga sebagai isteri Rasul yang pecemburu. Tetapi, kecemburuan Aisyah ini adalah rasa cemburu yang masih dibenarkan oleh syara’ dalam arti cemburu yang syar’i. Bukankah cemburu itu menandakan bahwa seorang isteri mencintai suaminya, dan ia pun merasa tidak mau rasa cintanya dikalahkan oleh para madunya yang lain? Selama kecemburuan itu sesuai dengan proporsinya dan tidak berlebih-lebihan, maka rasa cemburu ini bisa dipahami sebagai romantika kehidupan suami-isteri, dan Islam pun membenarkan cemburu yang seperti ini. Aisyah pernah cemburu pada Khadijah kendati ia telah tiada. Aisyah pernah cemburu pada Ummu Salamah yang diketahuinya berwajah cantik kendati ia sudah berusia lanjut. Sekalipun Aisyah adalah seorang isteri pecemburu, ia tidak pernah mengungkapkan kecemburuannya kepada ummul mukminin lain yang dicemburuinya itu, tetapi ia biasanya langsung menumpahkannya kepada Rasulullah saw. atau kadang sekali-kali kepada Hafshah binti Umar r.a. yang paling dekat di antara para isteri Rasulullah saw.
“Engkau adalah isteri yang paling dicintai Rasulullah saw., dan beliau tidak akan mencintai sesuatu kecuali yang baik,” ujar Ibnu Abbas kepada Aisyah. Di waktu lain ia pun mengatakan, “Allah Swt. telah menurunkan wahyu tentang kesucianmu dari atas lapis langit yang ketujuh, maka tidak ada satu masjid pun yang disebutkan nama Allah di dalamnya, kecuali kesucianmu akan dibacakan di dalamnya sepanjang malam dan siang.” Iman Az Zuhri berkata, “Seandainya ilmu Aisyah dikumpulkan dengan ilmu dari seluruh Ummahatul Mukminin, dan ilmu seluruh wanita, niscaya ilmu Aisyah lebih utama.”

bersambung....

NB: Hasil dari rangkuman buku "Belahan Jiwa Muhammad saw." karya Nurul 'Aina yang insya Allah akan diterbitkan oleh Penerbit Syaamil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar