Senin, 20 September 2010

Belajar dari Isteri-Isteri Rasulullah saw. bab [2]

Hafshah binti Umar r.a.
Hafshah memiliki karakter keras, kuat pendirian, dan sikap yang tegas. Ia mewarisi karakter ayahnya, Umar bin Khaththab r.a. Sesungguhnya, karakter seperti ini tidaklah negatif, tetapi bergantung pada apa yang mendasari karakter tersebut dan karakter itu dipakainya untuk apa dan siapa? Ia tidak segan untuk mendebat Rasulullah saw. sekiranya dalam pandangan Hafshah, ada pernyataan beliau yang tidak sesuai dengan apa yang dipahaminya. Hafshah memang seorang ahli menulis yang faqih dan kritis. Mungkin karena itulah, ia selalu mengungkapkan pendapatnya langsung di hadapan Rasulullah saw.
Hafshah adalah seorang isteri Rasulullah saw. yang suka bersaing dengan Aisyah dalam menempati posisi di hati beliau. Tetapi, harus diingat bahwa persaingan ini adalah persaingan yang sehat. Mereka bersaing layaknya ber-fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan) untuk meraih kecintaan dan keridhaan suaminya. Hafshah memang merasa bahwa ia mampu untuk bersaing dengan Aisyah karena ia adalah seorang wanita muda, berparas cantik, bertaqwa, dan wanita yang disegani. Ayahnya pun adalah sosok yang sangat disegani Kaum Muslim.
Hafshah binti Umar juga dikenal cukup kritis dan suka memberi nasihat. Pernah suatu hari, Aisyah mengadukan kecemburuannya tentang pernikahan Rasulullah saw. dengan Ummu Salamah kepada Hafshah. Hafshah pun mencemburui pernikahan Rasul itu, tetapi ia masih bisa memendamnya di dalam hati. Saat menanggapi kecemburuan Aisyah itu, Hafshah bertanya lebih lanjut, sesungguhnya apa yang dicemburui oleh Aisyah? Ternyata, Aisyah mencumburui kecantikan Ummu Salamah, sehingga ia khawatir Ummu Salamah akan menjadi saingannya menduduki tempat istimewa di hati Rasulullah saw. Mendengar kekhawatiran madunya itu, Hafshah hanya tersenyum, dan secara bijak ia menasihati Aisyah, bahwa kekhawatirannya itu tidak beralasan karena Rasulullah saw. menikahi Ummu Salamah yang sudah memasuki usia lanjut, sehingga kecantikannya itu akan segera memudar. Aisyah pun membenarkan nasihat Hafshah itu hingga ia merasa tenang dan tidak perlu mencemburui Ummu Salamah.
Hafshah adalah seseorang yang sangat amanah dalam menjaga mushaf Al Qur'an yang dititipkan kepadanya. Ia dikenal hafizh (hafal) Qur'an ketika Rasulullah saw. masih ada. Ia pun rajin membaca dan mengamalkannya, terutama amalan shaum dan shalat. Sehingga tidak mengherankan, Hafshah-lah, di antara isteri-isteri Rasul yang diberikan amanah dan tanggung jawab untuk menyimpan mushaf Al Qur'an hingga akhir hayatnya.
Isteri keempat Rasulullah saw. ini adalah wanita yang disebut Jibril a.s. sebagai Shawwamah wa Qawwamah (Wanita yang rajin shaum dan shalat) dan Hafshah juga disebut Jibril sebagai salah satu isteri Rasulullah saw. di surga.

Zainab binti Khuzaimah
Zainab adalah orang yang penyayang. Dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Zainab adalah seorang wanita yang penyayang. Terlebih lagi kepada kalangan mustadh’afin atau kaum dhuafa (kaum lemah dan papa). Ia adalah orang yang penyantun dan rajin bersedekah. Ia merupakan Ummul Mukminin yang diberikan gelar kemuliaan sebagai Ummul Masakin atau “Ibunda Orang-orang Miskin” karena ia dikenal sebagai isteri Rasulullah saw. yang paling sayang kepada orang-orang miskin, dan bersikap sangat baik kepada mereka. Zainab binti Khuzaimah r.a. suka memberi makan dan bersedekah kepada mereka.
Zainab adalah seorang wanita yang penyabar. Mau tahu buktinya? Sebagai seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya pada Perang Uhud, Zainab juga merasakan kehilangan dan kesedihan yang mendalam. Tetapi rasa kehilangan dan kesedihannya itu tidak membuat ia meratap, menyesali nasib hidupnya, ataupun menyumpahi suratan takdir yang memisahkan dirinya dengan suami tercinta. Zainab tetap bersabar menerima apapun keputusan Allah atas diri dan suaminya. Dan kesabaran itu pada akhirnya membawa Zainab menjadi isteri kelima Rasulullah saw., menjadi seorang ummul mukminin yang meninggal saat Rasulullah saw. masih hidup dan dishalatkan oleh beliau.
Zainab selain dikenal sebagai wanita yang welas asih, ia juga dikenal sebagai isteri Rasulullah saw. yang senang meringankan beban saudara-saudaranya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Atha’ bin Yasir yang mengisahkan, bahwa Zainab mempunyai seorang budak hitam dari Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak dari Habasyah itu tidak diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah memperlakukan layaknya seorang kerabat dekat.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah r.a. dengan sabdanya, “Ia benar-benar menjadi ibunda bagi orang-orang miskin, karena selalu memberikan makan dan bersedekah kepada mereka.” (Al Ishabah)

Hindun binti Abu Umayyah
Hindun atau lebih dikenal dengan sebutan Ummu Salamah adalah seorang wanita mukhlisin (orang yang ikhlas). Ia tercatat sebagai wanita Mukminah yang bersedia melaksanakan perintah hijrah dari Allah dan Rasul-Nya kepada Kaum Muslim. Dengan penuh keikhlasan ia menempuh medan berat dua kali perjalanan hijrah, baik dari Makkah ke Habasyah, ataupun dari Makkah ke Yatsrib (Madinah).
Sikap wara’ (berhati-hati) menjadi salah satu dari keistimewaan Ummu Salamah juga. Ia tidak sembarangan berbuat sesuatu ataupun serampangan menentukan pilihan. Ia selalu berpikir mendalam terlebih dahulu sebelum menjatuhkan keputusan, mana yang akan ia lakukan, dan mana yang akan ia pilih? Mana yang akan didahulukan, dan mana yang akan ditangguhkan pengerjaannya? Demikian pula, dalam menentukan siapa kiranya yang akan menjadi pendamping hidupnya sepeninggal Abu Salamah yang telah diakui memiliki kesalehan dan kedudukan istimewa di tengah Kaum Muslim. Ummu Salamah kerap menolak pinangan dari para sahabat Rasul yang datang dengan maksud untuk menikahinya. Bahkan, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dan Umar bin Khaththab r.a. sekalipun, dua orang sahabat mulia dan terkemuka yang datang melamarnya pun, Ummu Salamah tidak berkenan untuk menerima pinangan mereka. Termasuk ketika Rasulullah saw. datang melamarnya, Ummu Salamah tidak lantas menerima pinangan manusia paling mulia dari seluruh makhluk yang ada di bumi ini. Ia masih coba untuk menghindar pinangan istimewa itu dengan menyatakan “keberatan-keberatannya” yang jadi tabi’ah (karakter) seorang wanita yang menjanda. Ummu Salamah berkata, “Aku adalah wanita yang sudah tua, aku pun seorang janda yang memiliki banyak anak yatim, dan aku pun seorang wanita pencemburu.”
Ummu Salamah r.a. adalah orang yang sangat percaya akan janji Allah Swt. Ia adalah seorang Muslimah yang sungguh percaya akan kekuatan dahsyatnya doa yang dipanjatkan kepada Allah Swt. Setelah suami pertamanya wafat, Ummu Salamah selalu berdoa yang pernah dicontohkan suaminya, Abu Salamah kepadanya. Ia berdoa, “Ya Allah, gantilah aku dengan yang lebih baik darinya.” Allah Swt. mendengar doanya dan mengabulkannya. Allah mengganti Abu Salamah dengan lelaki terbaik untuk Ummu Salamah, yaitu Rasulullah saw. yang berkenan untuk menikahi Ummu Salamah sebagai isterinya yang keenam.
Ummu Salamah r.a. adalah seorang wanita yang bijak sekaligus tegas dalam menyampaikan saran dan pendapat. Hal ini karena ia selalu berpikir mendalam tentang berbagai persoalan. Ummu Salamah mampu untuk memetakan masalah yang sedang dihadapi, dan secara bijak mengambil pilihan cerdas untuk mengatasi masalah tersebut. Terbukti, ketika Ummu Salamah menyarankan suaminya, Rasulullah saw. untuk memberikan keteladanan kepada para sahabatnya dengan menjalankan apa-apa yang telah diperintahkan Nabi Muhammad saw. kepada mereka. Padahal, saat itu para sahabat sedang berpaling dari Rasulullah saw. karena tidak sependapat dengan beliau dalam perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah saw. menjalankan saran bijak dari Ummu Salamah dengan berdiam diri dari para sahabatnya, dan beliau pun langsung memberikan contoh kepada mereka dengan menjadi orang pertama yang menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya. Para sahabat pun menyadari kesalahannya, dan mereka berlomba menjalankan perintah Rasulullah saw. yang sebelumnya mereka abaikan. Saran bijak Ummu Salamah yang langsung dipraktikkan Rasulullah saw. telah menyelamatkan para sahabat dari murka Allah.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan bahwa Ummu Salamah adalah ahlul bait-nya (anggota keluarga dan keturunannya). Selain itu, Rasulullah saw. pun memuliakannya dengan biasa mengunjunginya pertama kali sehabis beliau menunaikan Shalat Ashar, sebelum mengunjungi isteri-isterinya yang lain.

Zainab binti Jahsy
Zainab adalah seorang wanita pemurah dan dermawan. Rasulullah saw. pun memuliakannya dengan mengatakannya sebagai isteri yang “panjang tangannya”. Ia pun dikenal sebagai penolong anak-anak yatim, dan tempat berlindung para janda miskin. Zainab pun dikenal rajin bekerja, mengumpulkan upahnya sebagai harta yang halal, lalu membelanjakannya di jalan Allah Swt. untuk meringankan beban hidup anak-anak yatim, janda-janda miskin, dan orang-orang yang lebih membutuhkan.
Zainab adalah orang yang sangat percaya akan kuasa Allah Swt. atas makhluk-makhluk-Nya. Ia pun seorang Muslimah yang mengakui kenabian Muhammad sebagai utusan-Nya. Sebagai hamba-Nya yang dhaif (lemah) dan sebagai umat Rasulullah saw. yang taat. Zainab bersedia untuk menerima Zaid bin Haritsah sebagai suaminya, padahal sebelumnya ia sama sekali tidak berkenan untuk menikah dengannya. Setelah perceraiannya dengan Zaid, ia pun dipinang oleh Rasulullah saw., tetapi, Zainab tidak langsung mengiyakannya, ia hanya menjawab, “Aku tidak akan melakukan sesuatu sebelum meminta petunjuk kepada Allah”. Lalu, Zainab pun melaksanakan shalat istikharah. Baru, setelah ia mendengar kabar turunnya Q.S. Al-Ahzab, 37, hatinya semakin mantap menerima pinangan Rasulullah saw. Bahkan, ketika Rasul menemuinya secara mendadak, dan mengatakan kepada Zainab, bahwa Allah Swt. telah menikahkan mereka dari atas langit. Zainab hanya menanyakan siapa yang menjadi saksi atas pernikahannya itu? Ia pun menerima sepenuhnya, setelah Rasul meyakinkannya bahwa saksi pernikahan mereka adalah Ruhul ‘Amin (Malaikat Jibril ).
Zainab adalah isteri ketujuh Rasulullah saw. yang membanggakan pernikahannya dengan beliau karena mereka dinikahkan langsung oleh Allah Swt. dari atas langit, dengan saksi Malaikat Jibril. Oleh karenanya, ia sangat menjaga ikatan pernikahannya itu dengan berusaha menjadi isteri terbaik bagi suaminya. Zainab selalu berusaha menyenangkan hati Rasulullah saw. dengan melayani segala kebutuhannya dengan baik. Ia pun berusaha tidak menyinggung hati isteri-isteri Rasulullah saw. lainnya, terutama isteri kesayangannya, yaitu Aisyah binti Abu Bakar r.a.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan kepada isteri-isterinya, bahwa isteri yang paling cepat akan menyusul beliau menemui Rabb-nya adalah isteri yang paling panjang tangannya. Maka, sejak Rasulullah saw. wafat, para isterinya suka membanding-bandingkan panjangnya tangan di antara mereka. Tetapi, justru hadits itu baru terbukti setelah wafatnya Zainab. Mereka baru memahami bahwa “panjang tangan” dalam hadits Rasulullah saw. itu bermakna kiasan, yaitu “yang paling banyak sedekahnya”. Dan, di antara isteri-isteri Rasulullah saw. yang paling rajin shadaqah adalah Zainab binti Jahsy. Hal ini pun diakui oleh Aisyah binti Abu Bakar r.a. yang berkata, “Zainab adalah seorang wanita yang rajin bekerja, ia sering menyamak, mengumpulkan upahnya, lalu menyedekahkannya di jalan Allah Swt.”

bersambung....

NB: Hasil dari rangkuman buku "Belahan Jiwa Muhammad saw." karya Nurul 'Aina yang insya Allah akan diterbitkan oleh Penerbit Syaamil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar