Senin, 20 September 2010

Belajar dari Isteri-Isteri Rasulullah saw.bab [3]

Juwairiyah binti Al Harits
Juwairiyah adalah seorang wanita yang fathanah (cerdas). Ia cepat memahami kondisi kaumnya dan keadaan dirinya, setelah kaumnya, Bani Al Musthaliq yang menentang kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw. berhasil dikalahkan oleh Pasukan Islam dalam Perang Muraisi’. Juwairiyah yang merupakan anak dari Al Harits bin Abu Dhirar adalah puteri seorang pemimpin Bani Al Musthaliq. Ia yang dilahirkan dari keluarga terhormat tahu betul bagaimana caranya untuk membebaskan dirinya, sekaligus membebaskan kaumnya dari perbudakan. Dengan kecerdasan yang ia miliki, Juwairiyah langsung menemui pemimpin Kaum Muslim, Rasulullah saw., dan menyampaikan maksud kedatangannya. Rasulullah saw. pun bersedia untuk mengabulkan permintaan Juwairiyah untuk membebaskan dirinya dari Tsabit bin Qais. Bahkan, Rasulullah saw. bersedia untuk mengembalikan kehormatan Juwairiyah dengan menikahinya. Melalui pernikahan inilah, seluruh tawanan Bani Al Musthaliq dibebaskan, dan mereka pun masuk Islam. Bahkan, Al Harits bin Abu Dhirar, ayah Juwairiyah yang datang menemui Rasulullah saw. untuk menebus putrinya pun masuk Islam, setelah menyaksikan bukti bahwa Muhammad adalah Rasul Allah.
Juwairiyah adalah sosok wanita yang mampu menjaga izzah (kemuliaan)nya sebagai seorang wanita terhormat. Ia adalah seorang wanita terpandang di kaumnya yang memiliki kecerdasan akal dan kecantikan fisik. Oleh karenanya, Juwairiyah merasa tidak pantas men
jadi seorang tawanan, apalagi sampai direndahkan menjadi seorang budak. Ia pun meyakinkan diri tidak pantas dimiliki oleh Tsabit bin Qais yang hanya prajurit biasa. Kalaupun ada manusia yang diberi kesempatan untuk memiliki dirinya, manusia itu bukanlah Tsabit bin Qais, tetapi siapa yang menjadi pemimpin Tsabit dan pemimpin kaumnya (Kaum Muslim), yaitu Rasulullah saw. Kemuliaan sebagai wanita terhormat yang diperlihatkan Juwairiyah saat itu membuat Rasul tidak hanya bersedia membebaskannya, tetapi menawarkan dirinya untuk menikahi Juwairiyah, dan mengembalikan ke-hormatannya di tengah Bani Al Musthaliq, sekaligus menguatkan kemuliaannya di hati Kaum Muslim sebagai ummul mukminin (ibunya orang-orang beriman).
Juwairiyah juga seorang wanita yang rajin beribadah dan suka belajar. Keimanan Juwairiyah kepada Allah dan Rasul-Nya pun tidak diragukan lagi. Terbukti, ia lebih memilih tinggal bersama Rasulullah saw. dibanding menerima ajakan ayahnya kembali kepada kaumnya. Setelah Juwairiyah memeluk Islam dan menjadi isteri Rasulullah saw., ia mencurahkan sebagian besar waktunya untuk beribadah kepada Allah Swt., berpuasa dan mengerjakan kebajikan. Bahkan, Rasulullah saw. pun memberi nama kepadanya “Juwairiyah” karena begitu banyak amal kebajikannya bagi keislaman kaumnya, yaitu Bani Al Musthaliq. Juwairiyah pun tidak malu untuk mengakui ketidak tahuannya tentang ajaran Islam, dan berusaha untuk terus belajar memahami Islam, langsung dari “guru utamanya” yaitu suaminya sendiri, Rasulullah saw.
Dalam salah satu riwayat, Aisyah binti Abu Bakar r.a. pernah berkata tentang keutamaan dan keistimewaan isteri kedelapan Rasulullah saw. ini, “Saya tidak tahu wanita mana yang paling memberikan berkah untuk kaumnya selain dari Juwairiyah binti Al Harits.”

Shafiyyah binti Huyay
Shafiyyah adalah seorang wanita yang memiliki sifat shiddiq (jujur) dalam perkataan dan perbuatannya. Rasulullah saw. membenarkan apa yang telah dikatakan Shafiyyah tentang mimpinya dan luka memar di wajahnya. Rasulullah saw. pun telah membenarkan pengakuan Shafiyyah yang berangan-angan dan menginginkan dirinya dinikahi oleh Rasulullah saw. Bahkan, Rasulullah saw. pun telah bersaksi, membenarkan kejujuran Shafiyyah ketika isteri-isteri Nabi berkumpul menunggui beliau yang sakit menjelang wafatnya.
Shafiyyah adalah seorang wanita yang pemaaf. Ia selalu memaafkan perlakuan isteri-
isteri Rasulullah saw. yang cemburu kepadanya (karena ia berasal dari keturunan Yahudi yang memiliki kulit putih dan cantik, bukan dari keturunan Arab). Bahkan, ia berusaha mengambil hati mereka dengan membagikan perhiasan miliknya sebagai hadiah untuk para madunya itu. Shafiyyah hanya menangis jika ada perkataan madunya yang menyinggung perasaannya. Ia baru berani membalas setelah Rasulullah saw. meyakinkannya bahwa ia memiliki keutamaan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh para ummul mukminin lainnya. Shafiyyah juga dikenal sangat bijaksana ketika memaafkan seseorang, bahkan saat ia mampu untuk membalasnya. Secara bijak, ia memaafkan, bahkan membebaskan pelayan wanitanya yang telah memfitnahnya di hadapan Khalifah Umar bin Khaththab r.a.
Shafiyyah juga dikenal sebagai isteri kesembilan Rasulullah saw. yang memiliki pemahaman mendalam dan pengamatan yang sangat teliti. Ia pernah mengingatkan kepada para Muslimah yang berzikir, membaca Al Quran, dan shalat di tempatnya, untuk khusyuk dalam beribadah, dan takut dari (azab)-Nya. Shafiyyah sungguh mengherankan orang-orang yang berzikir mengingat Allah, membaca ayat-ayat-Nya, dan bersujud di hadapan-Nya. Tetapi, tidak sedikit pun bergetar dalam hatinya ketika nama Allah dibacakan?
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah mengatakan tentang keutamaan dan keistimewaan Shafiyyah dibanding dengan isteri-isteri Rasul lainnya, “Sesungguhnya engkau adalah puteri seorang Nabi (keturunan Nabi Harun a.s), pamanmu seorang Nabi (keturunan Nabi Musa a.s.), dan engkau berada di bawah naungan seorang Nabi (Muhammad saw.), Maka, dengan apa lagi engkau akan lebih berbesar hati.” (H.R. Tirmidzi)

Ramlah binti Abu Sufyan
Ramlah atau yang dikenal dengan Ummu Habibah adalah seorang wanita yang memiliki sifat shabirin (sabar) dan tabah dalam menghadapi ujian Allah Swt. Ujian demi ujian yang datang kepadanya, justeru dihadapinya dengan tabah. Baginya, ujian akan semakin meneguhkan keyakinan dan keimanannya di jalan Allah Swt. Ketika keimanannya diusik oleh ayahanda dan keluarganya, yang menginginkan dirinya kembali pada kekafiran, ia tetap teguh mempertahankan keimanannya. Ia tidak menyesali diri berada dalam barisan Kaum Muslim yang dimusuhi Musyrikin Quraisy. Ia tetap sabar menjalaninya dengan penuh keimanan. Demikian pula ketika Ummu Habibah harus berhijrah ke Habasyah, meninggalkan keluarganya jauh dari tanah kelahiran dan kaumnya, ia tetap sabar menjalaninya. Bahkan, ketika suaminya murtad dari ajaran Islam, ia berusaha mengajaknya kembali. Ia pun harus bersabar, ketika suaminya itu tetap pada pendiriannya.
Ummu Habibah adalah seorang wanita yang selalu bertawakal kepada Allah Swt. dalam aktivitas hidupnya. Ia meyakini bahwa setiap Muslim harus bertawakal kepada Allah Swt., dalam arti selalu menjadikan-Nya sebagai tempat bersandar dalam mencari maslahiyah (kemanfaatan) dan menolak dharariyah (kemadaratan). Ketika suaminya, Ubaidillah bin Jahsy murtad, Ummu Habibah tetap bersabar dan teguh dalam keimanan. Ia bertawakal kepada-Nya, dengan menyerahkan segala urusannya kepada Allah Swt. Termasuk, ketika ia harus berjuang sendirian menghidupi dan membesarkan puterinya, Habibah. Ia tetap bertakwa kepada Allah Swt. dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Ummu Habibah juga dikenal sebagai isteri kesepuluh Rasulullah saw. yang ‘asidda’u alal kuffar (keras terhadap orang-orang kafir) dan ‘adillatin alal mu’min (lembut terhadap sesama Mukmin). Kita bisa menyaksikan bagaimana sikap keras (tegas) yang diperlihatkan Ummu Habibah saat Abu Sufyan, pemimpin orang-orang Musyrik Makkah mengunjungi tempat tinggalnya. Bahkan, ia tidak ridha, tikar yang biasa diduduki Rasulullah saw. diduduki oleh orang Musyrik seperti ayahnya. Kemudian, saat Ummu Habibah menjelang wafatnya, ia masih menunjukkan kasih sayangnya kepada sesama Mukmin dengan mendatangi para ummul mukminin untuk saling memaafkan dan mendoakan di antara mereka.
Sekalipun Ummu Habibah r.a. bisa bersikap keras dan tegas terhadap orang kafir yang jelas-jelas memusuhi Islam dan Kaum Muslim, tetapi pada dasarnya ia dikenal sebagai seorang wanita yang suka memuliakan tamu, tanpa melihat status sosial tamunya itu. Ia pun tanpa sungkan suka memberi hadiah untuk berbagi kebahagiaan dengan tamunya itu. Hal ini bisa kita lihat dari apa yang pernah dilakukan oleh Ummu Habibah saat ia tinggal di negeri hijrah, Habasyah. Di sana, ia sering berinteraksi dengan kaum wanita Habasyah, khususnya dengan Abrahah, hamba sahaya wanita yang dimiliki Raja Najasy. Ketika Abrahah berkunjung ke tempat kediaman Ummu Habibah, dan meminta izin untuk masuk ke dalam rumahnya, Ummu Habibah pun segera mempersilakannya masuk, dan memperlakukannya dengan baik, sekalipun Abrahah hanyalah seorang jariyah (hamba sahaya wanita). Bahkan, saat Abrahah memberitahu kabar gembira untuk Ummu Habibah kalau Rasulullah saw. ingin meminang Ummu Habibah, ia pun segera melepaskan dua gelang perak di tangannya dan dua gelang perak di kakinya, beserta cincin-cincin perak di jemari tangannya untuk ia hadiahkan kepada Abrahah.
Ketika berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah saw. terdengar oleh ayahandanya, Abu Sufyan berkata, “Dia adalah hewan jantan yang tidak terpotong hidungnya.” Maksudnya bahwa Rasulullah saw. adalah pasangan yang mulia tidak tercela dan tiada berbanding. Dari pernyataan Abu Sufyan ini tersirat pengakuan bahwa Rasulullah saw. adalah sosok yang sangat pantas untuk menjadi suami puterinya, Ummu Habibah, karena puterinya itu juga adalah sosok yang istimewa dalam berpegang teguh pada keimanan dan pilihan hidupnya.

bersambung....

NB: Hasil dari rangkuman buku "Belahan Jiwa Muhammad saw." karya Nurul 'Aina yang insya Allah akan diterbitkan oleh Penerbit Syaamil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar